Kala menjadi komentator, Mas Bro selalu menyebutkan rekam jejak si pemain. Ini hal biasa, tapi saya selalu menduga hal tadi lebih banyak terekam di otaknya, bukan di secarik dua carik kertas. Ensiklopedia bulutangkis berjalan yang kampret sekali. Sangat kampret sampai bisa dengan santainya ngobrol dengan Presiden BWF, seperti dua rekan main karambol bercanda sambil menyeruput kopi.
Maka ketika ada kabar Mas Broto sudah tidak lagi diberdayakan oleh BOLA, saya terguncang. Hiperbolis memang. Alasannya karena sudah tidak lagi punya potensi. Dari sudut pandang bisnis memang betul. Semakin tua maka semakin sedikit ruang untuk mengembangkan potensi. Tapi potensi yang mana?
Dari sudut tulis-menulis, saya harus bilang ada banyak penulis lain yang karyanya lebih ciamik dari Mas Bro. Tapi baca lagi beberapa paragraf sebelum ini. Menjadi jurnalis bukan cuma perkara tulisanmu canggih tidak. Cara mencair dengan lingkungan baru, menjalin hubungan erat dengan narasumber, dan keteguhan mencari informasi di lapangan ada di dimensi lain. Bukankah tidak semua penulis hebat di dunia ini pernah jadi jurnalis?
Mencari individu seperti Mas Bro saya pikir tidak akan mudah. Kita memang bisa dengan mudah mencari orang yang kemampuan menulisnya setara atau malah lebih tinggi. Tapi tidak dengan karakter penting lain yang perlu dipunyai seorang jurnalis (baca saja di atas, saya terlalu malas mengulanginya).
Seharusnya itu adalah sebuah potensi. Potensi yang akan ditularkan ke tunas jurnalis muda. Sayang, sudah keburu disunat sebelum akil baligh.
[caption caption="Mas Bro (gambar: photobucket.com)"]
©Shesar_Andri
Jakarta, 14 November 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H