Mohon tunggu...
Shesar
Shesar Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pemuja Pramoedya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kemenangan Lebaran, Menang dari Hong Kong?

17 Juli 2015   23:02 Diperbarui: 17 Juli 2015   23:02 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Coba ingat lagi, apakah betul Ramadan kemarin bukan sekedar ritual menahan lapar dan haus? Betulkah kita berhasil memaknai Ramadan selain lebih dari lapar dan haus sepanjang lebih dari setengah hari?

Di jalanan Jakarta masih banyak yang tidak sabaran. Di sepanjang jalan Rasuna Said yang tiap sore saya lewati, tidak sedikit kendaraan yang mejotong malur dan memotong jalur. Padahal katanya puasa bias membuat manusia jadi pribadi yang lebih sabar.

Saat siang bolehlah ada banyak yang sanggup menahan lapar, dahaga, dan birahi. Setelah adzan maghrib hadir bagaimana? Gak usah munafik, maghrib adalah saatnya balas dendam dengan makan yang lebih mewah. Kelas warteg naik ke kafe. Yang kafe naik jadi kelas restoran. Yang kelas restoran pindah ke hidangan eksklusif koki hotel. Yang biasa di hotel mungkin plesir ke negeri jiran.

Gak usah munafik, pengeluaran saat berbuka sering di luar anggaran. Saya pun begitu kok. Dalih saya adalah ajakan berbuka bersama yang konon berguna untuk merekatkan ikatan silaturahim. Ada benarnya lho, kalau nggak gitu susahnya minta ampun mengajak teman kantor atau teman kampus buat ketemu. Tapi apa kabar kalau buber itu jadi ritual seminggu dua kali? Bahkan lebih?

Padahal katanya mau berempati dengan kaum jelata yang sehari-hari bersahabat dengan rasa lapar. Iya sih lapar, tapi sesudah itu foya-foya rutin. Gak usah munafik, memangnya ada gitu yang buber di warteg? Minimal kafe kan? Paling sering sih di mall. Paling tidak butuh duit Rp30.000. Gak masalah kalau situ sudah kerja lama di Jakarta. Kalau status masih anak ingusan, ya congkak namanya mas, mbak.

Kalau mau elegan sedikit, mbok ya itu kaum jelatanya diajak sekalian. Saya sih tiada pernah lihat yang begituan, dan belum pernah melakukannya sendiri. Malu-maluin kan saya ini? Udah gitu kalau buber pasti maghribannya sering kelewat, ya minimal molor jauh lah. Jangan Tanya sembahyang isya yang waktunya panjang, sudah nyaris pasti belakangan. Tarawih? Hukumnya nggak wajib tuh, ambyar pun gak masalah.

Yang paling konyol, banyak orang sadar kelakuan ganjil nan kontradiktif itu di akhir Ramadan. Keluarlah pernyataan:

“Duh puasa kali ini gak maksimal ini, semoga bias bertemu lagi dengan Ramadan tahun depan,”

“Gak kerasa udah mau Lebaran, cepet banget ya Ramadan berlalu,”

dan omong kosong lain yang masih satu genus.

Palsu lek, palsu. Kalau gak palsu mana ada yang seperti itu jadi siklus. Sadar iya, tapi kelakuan di tahun depan ya sama saja. Gak ada yang berubah. Kata orang Jawa, kapok lombok. Ngomel-ngomel gegara sambalnya kepedesan, tapi ya masih aja dicocol terus. Lak ya wagu to?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun