Mohon tunggu...
Shesar
Shesar Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pemuja Pramoedya

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Luis Aragones, Beruang Ibukota dan Tangis Papa Reina

2 Februari 2014   13:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:14 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="Luis Aragones dilempar ke udara usai final Euro 2008. Kini ia semakin dekat ke surga (poto: Getty Images)"][/caption]

Sekumpulan matador sepak bola Spanyol puluhan tahun terkurung dalam hutan kesemenjanaan. Setiap kali berusaha membuka alang-alang, mereka terpeleset. Satu pohon ditebang, pisau yang dipegang tumpul pada pohon kedua. Dalam pendakian ke puncak, sendal atau sepatu yang dipakai tak selang berapa lama kehilangan daya cengkeramnya. Para matado terpeleset dan harus kembali berjuang keluar dari hutan kesemenjanaan.

Selepas tahun 1964, timnas sepak bola Spanyol selalu mengikuti turnamen besar dengan prinsip ‘Ikut segan absen tak mau’. Spanyol dan Inggris adalah sepupu dekat dalam hal reputasi besar yang dibarengi prestasi cetek. Namun, Spanyol kemudian memutuskan hubungan persaudaraan itu tanpa terlebih dahulu membagi tahu Inggris. Adalah Luis Aragones Suarez yang kurang ajar melakukannya.

Aragones membabat hutan kesemenjanaan yang puluhan tahun mengurung Spanyol. Sejarah mencatat sejak memenangi Euro 1964 di tanah airnya, Spanyol setia menemani Inggris sebagai negara sepak bola yang tong kosong nyaring bunyinya. Aragones adalah Spanyol sejati. Ia tak punya jiwa pemberontak masyarakat Basque atau Catalonia. Aragones lahir di ibukota.

Euro 2008 menjadi titik mula terbangunnya banteng sepak bola Spanyol yang terlalu lama mendengkur. Kegagalan di Piala Dunia 2006 membuat Aragones sadar bangsanya tak bisa bertarung di bidang otot. Ia memodifikasi Total Football Rinus Michels dan Johan Cruyff menjadi Tiki-Taka. Perdebatan siapa penemu tiki-taka masih dan sedang berlanjut, dan orang juga boleh saja mengklaim Barcelona-lah pemilik hak ciptanya.

Namun sulit mendebat Aragones-lah yang memasukkannya ke nadi timnas. Euro 2008 di Austria menjadi catwalk keindahan gaya bermain tiki-taka. Spanyol akhirnya menikmati matahari kemenangan setelah susah payah membuka hutan kesemenjanaan. Piala Dunia 2010 lalu dilanjutkan kembali memeluk trofi Euro pada 2012 di Polandia-Ukraina.

Spanyol pasca 2008, oleh beberapa pengamat, disebut sebagai tim sepak bola terbaik sepanjang masa. Tengok spion sekejap dan Aragones-lah yang mengawali semuanya. Virus pun sampai merembet ke level usia. Spanyol U-19, U-20, U-23 semuanya sudah pernah merasakan gelar juara dalam 6 tahun terakhir.

Publik Spanyol berterimakasih pada Aragones. Dan bagian Spanyol yang paling memujanya adalah warga ibukota, utamanya mereka yang setia menyaksikan sepak bola di pinggiran sungai Manzanares. Mereka yang menyebut diri sebagai Atleticos, pendukung setia Atletico Madrid.

Aragones si anak ibukota sudah mengalami rasanya menyepakbola di tiga lapangan ibukota yang berbeda. Getafe adalah klub pertamanya, lalu menyeberang ke sisi glamor ibukota di Real Madrid saat berumur 20 tahun namun hanya bertahan dua tahun akibat gagal menembus tim utama.

[caption id="" align="aligncenter" width="550" caption="Luis Aragones Suarez, legenda abadi Atletico Madrid (poto: todocoleccion.net)"]

Luis Aragones Suarez, legenda abadi Atletico Madrid
Luis Aragones Suarez, legenda abadi Atletico Madrid
[/caption]

Bermula di ibukota, Aragones mengakhirinya di ibukota. Ia bermain bagi Atletico Madrid pada 1964-1974 dan pensiun saat berusia 36 tahun. Bagi klub nomor dua di ibukota ini, Aragones adalah Tuhan bagi mereka yang menolak Tuhan yang sudah diputuskan oleh agama. Aragones mencatat sejarah manis yang jika nanti dibuat sebuah buku, akan banyak dipajang di kedai kopi sepanjang pinggiran sungai Manzanares.

Zapatones alias Si Sepatu Besar adalah jenderal lini tengah Atleti. Di medan sepak bola Spanyol, ia membawakan gelar La Liga bagi Atleti pada musim 65/66, 69/70, dan 73/74. Copa del Rey musim 64/65 dan 71/72 pun tak luput.

Jika ada satu orang di luar keluarga besar Aragones yang sangat menangisi kepergiannya kemarin pagi, barangkali Miguel Reina adalah orangnya. Ayah Pepe Reina menjaga gawang Atleti di final Piala Champions 1974 melawan Bayern Muenchen.

Hanya tinggal beberapa detik bagi Atleti untuk memenangkan piala bergengsi itu. Namun semua buyar saat sepakan keras bek Hans-Georg Schwarzenbeck dari luar kotak menjebol gawang Papa Reina. Gol balasan itu hanya berjarak beberapa detik dari peluit wasit. Hanya lima menit berselang dari gol Aragones pada menit 114. Di pertandingan final ulangan, Muenchen tanpa ampun menghajar gawan Papa Reina empat gol tak berbalas.

Ia pensiun pada tahun itu setelah ditunjuk presiden klub Vicente Calderon menukangi Atleti. Dan Atleti adalah klub yang paling sering ia tangani. Aragones berkelana ke sana ke mari mencari cinta, namun selalu ada kail di hatinya yang membuat Atleti menjadi yang pertama.  Ia tak pernah pergi dari Atleti tanpa meninggalkan trofi pada empat periodenya, 1974 – 1980, 1982 – 1987, 1991 – 1993, dan 2001 – 2003. Total delapan trofi ia masukkan ke lemari prestasi Atleti.

Cintanya pada Atleti ditampilkan dengan vulgar saat memutuskan ia harus turun tangan menaikkan derajat Atleti. Musim 1999/2000 Atleti terperosok ke Segunda Division dan gagal mendaki ke Primera Liga semusim berikutnya. Aragones datang dan bersama bocah bernama Fernando Torres ia membawa Atleti ke habitat yang sudah seharusnya. Jangan lupakan pula bahwa karena dialah Torres kemudian mencetak gol kemenangan di final Euro 2008.

Jika bukan karena Aragones, bisa jadi Spanyol saat ini masih bersahabat baik dengan Inggris. Asyik mahsyuk menonton final turnamen besar di tribun VIP dengan euforia palsu. Jika bukan karena cinta vulgar Aragones, bisa jadi kini Atleti berkawan nasib dengan Leeds United, mengingat saat itu ‘Si Brilian’ Jesus Gil masih seorang bos besar di Atleti.

Jesus Gil adalah sosok brilian yang menutup akademi Atleti pada 1992 dengan alasan ‘tak menguntungkan dan cuma buang-buang duit’. Langkah brilian dengan membiarkan Raul Gonzales menyeberang ke akademi Real Madrid.

Hasta siempre Luis Aragones.

©Shesar_Andri, 2 Februari 2014

Amunt Valencia

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun