Baru 15 menit duduk di kursi bioskop dan rasanya saya sudah ingin keluar saja. Saya bukan orang yang rutin seminggu sekali nonton di bioskop, juga termasuk orang yang pilih-pilih film. Untungnya sampai sekarang jarang kena sial nonton film yang jelek, kecuali saat ada screening media. Tapi itu juga cuma sekali dan tentu saja gratisan.
Jujur, sebagai generasi 90an yang baik banyak harapan tertumpu pada Doraemon Stand By Me. Barangkali bisa nostalgia gila mengingat masa-masa celana dalam belum menjadi barang penting di kehidupan. Dan memang mayoritas penikmat film ini adalah mereka yang usianya 20 tahun ke atas, diselingi beberapa anak kecil.
Ada tiga kondisi saat saya mau repot-repot menulis review: (1) filmnya bagus banget, (2) kerjaan dari kantor, dan (3) filmnya sangat mengecewakan. Di sini Stand By Me kebagian kondisi ketiga. Maaf Mbah Fujio. Mengambang
Ini kesan pertama saya. Sampai akhir cerita saya masih bingung, ini film untuk nostalgia anak 90an atau konsumsi anak kecil kekinian? Kalau buat nostalgia, rasanya nanggung karena ceritanya kurang dalam dan ada beberapa logika yang meleset. Sedikit bocoran, Doraemon diprogram untuk tidak kembali ke masa depan sampai Nobita menemukan kebahagiaannya, tapi setelah beberapa menit ceritanya bergeser ke Doraemon dan Nobita masuk ke laci legendaris itu untuk menjelajah masa depan. Emmm….
Dibuat untuk anak-anak? Masa sih? Kok inti ceritanya di sini cinta-cintaan? Apa iya kisah Nobita yang berambisi menikahi Shizuka itu konsumsi bocah yang belum paham romantisme purnama yang berbeda? Lagi pula ada beberapa adegan pelukan dan segala macam romantisme yang buat saya hanya cocok dikonsumsi usia 17+. Sejenak saya merasa tidak ada bedanya film ini dengan sinetron lokal. Mungkin mereka lelah. Jiplakan Mentah dari Manga
Ekspresi yang berlebihan, tingkah konyol, lelucon slapstick, dan mulut yang dimonyong-monyongkan jadi bumbu sedap manga Doraemon. Formula tersebut berhasil, jika tidak mana mungkin Doraemon bisa sepopuler ini. Di Indonesia saja sampai dibuatkan pameran alat-alat ajaibnya di Ancol.
Tapi menerjemahkannya mentah-mentah ke format animasi 3D? Kesan yang muncul malah aneh dan tidak menarik. Untuk animasi 3D, saya terbiasa menonton film produksi Disney, Dreamworks, dan Pixar. Beberapa yang humornya segar dan menggelitik antara lain Wreck It Ralph, Despicable Me, dan Toy Story. Yang cukup mirip dengan gaya lelucon Stand By Me menurut saya sih Despicable Me, tapi eksekusinya beda jauh.
Minions juga kerap bertingkah konyol dan melucu ala slapstick, tapi tidak menimbulkan reaksi, “Apaan sih ini?”. Beda dengan kelakuan Nobita dan kawan-kawan yang benar-benar terjemahan mutlak dari manga. Saya pikir formula di manga tidak seharusnya dipakai mentah-mentah di format animasi 3D karena yang ada malah memicu reaksi, “Heleeeeeh….”.
Parameter saya hanya atmosfer di dalam teater. Saat menonton Despicable Me, tawa meledak. Stand By Me hanya bisa melakukan tak sampai 50 persennya. Sedih? Nggak juga sih...