Mohon tunggu...
Sheryn Meivy
Sheryn Meivy Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Didalam Sepatu "Cultuurstelsel"

7 November 2017   06:21 Diperbarui: 7 November 2017   08:55 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya mulai tertawa menyadari bahwa hasil panen nanti tidak akan cukup untuk membiayai hidup keluarga bahkan untuk sebulan. Terkadang ketika terlalu lelah untuk merasa susah hati, rasanya ingin tertawa. Ketika air mata dan amarah habis di ranjang sebelum tidur, mengahdapi kenyataan yang pahit, lebih baik tertawa. Saya mempunyai  5 orang anak dan seorang istri yang sangat cantik. 

Hasil panen yang biasanya sudah sangat pas-pasan dengan kebutuhan sehari-hari membiayai 5 orang anak, sekarang menjadi sangat kurang setelah Gubernur Jendral yang kali ini, Van den Bosch mewajibkan kami, rakyat biasa menyisihkan sebagian tanah kami dirampas. Minimal sebanyak 20% dari tanah kami dipakai untuk membaryar "hutang" yang seakan-akan kami miliki terhadap VOC. Hal ini membuatku frustrasi dan tidak tahu harus bagaimana lagi selain, mengikuti dengan diam apa yang dipaksakan. Aku pun melanjutkan tertawa ku di sembari menanam kopi di kebun.

Tertawa ku mengeras dan penuh keputusa asaan memikirkan bagaimana dan apa yang harus keluarga ku makan besok, hingga ada suatu ketukan pintu di pintu ruangan saya menegejutkan saya bangun dari lamunan saya. "Permisi, pak Doni..." kata seorang siswa perempuan yang masuk dengan membawa tumpukan kertas ditangannya "Ini pak, mau ngumpulin tugas sejarah cerpen kelas 11 ipa 2" "Oh iya, Mira, taruh sini saja, makasih yaa" balas saya pada Mira, si ketua kelas, kelas 11 ipa 2. "iya pak... ehm.. pak anu.. Bapak yang kuat ya kami, murid-murid bapak semua sayang bapak..." Kata Mira pelan "terimakasih Mira! Sudah menghawatirkan dan menyemangati bapak, bapak sudah tidak apa-apa kok"

Sesi berikutnya adalah kelas 10, secara pribadi saya paling menyukai bab yang kali ini kami pelajari. Pembelajaran tentang bagaimana Indonesia dijajah, seluk beluk pemerintahannya, rakyatnya, dan terlebih, perjuangannya kepada kemerdekaan. Bicara tentang perjuangan, sambil saya mengajar sesi sejarah Indonesia di depan kelas 10B, saya teringat kembali perjuangan membiayai keluarga pada saat cultuurstelsel diberlakukan. 

Saya teringat ketika desa kami tidak mampu melunasi utang pajak tanahnya karena gagal panen dan tidak memiliki cukup uang untuk membayar kekurangannya, dan rasa gentar hingga ingin mati rasanya. Dada ini rasanya ingin meledak, dan jantung hampir berteriak ketika pasukan VOC datang hendak menagih pajak desa kami. 

Saya sedang bekerja di kebun, saat tentara datang dan saya menjadi salah satu dari orang yang mereka pukuli dengan keam.  Setelah menerima banyak penghajaran yang cukup untuk membekas berbulan-bulan di kaki ku, target panen kami untuk kedepannya pun dinaikkan dengan semena-mena. Saya terlalu lelah untuk menjadi kesal dan memilih untuk tetap diam.

"..." "Pak Doni?..." kata seorang anak siswa yang duduk di kursi kelas paling depan. Saya menatapnya dengan tatapan hampa dan tak berkata apapun. "Apa bapak baik-baik saja?" lanjutnya. Suara bisik-bisik mulai terdengar " Bapak sudah berdiam sekitar 30 menit sekarang, apakah bapak baik-baik saja?" Saya memaksakan sebuah senyuman di wajah saya, yang kelihatanya cukup aneh untuk memperburuk suasana. "Saya harus bisa melewati ini.. saya harus bisa.. harus bisa..." kata saya perlahan menenangkan diri ketika bibir saya akhirnya bisa bergerak. "Yak! Kembali ke 1850... " Kata saya lantang. Beberapa anak terkejut, beberapa sedikit loncat. 

Walau suasana sudah menjadi aneh, saya erusaha sebaik mungkin menggunakan waktu sisa di sesi yang ada untuk menjelaskan materi lebih lanjut. Namun masuk pembahasan mengenai tanam paksa, cultuurstelsel yang menegerikan, 20 tahun yang terasa seperti 100 tahun. Saya menjelaskan, dengan keringat dingin sedikit demi sedikit membasahi dahi dan kerah kemeja saya, dengan setiap tetesannya terasa dingin menusuk kulit mengingat kemisikinan keluarga saya yang tak tertahankan, puasa beberapa hari, meminta pinjaman uang kepada tetangga, hingga mengenakan karung sebagai  baju, dipekerjakan secara rodi tanpa bayaran dan masih banyak lagi. 

Melihat keluaraga sengsara dan tidak dapat melakukan apa pun adalah hal yang terburuk yang dapat dirasakan seorang kepala keluarga. Dengan setiap penjelasan akan sistem cultuurstelsel yang saya bawakan di depan kelas, rasanya mengencangkan dasi di leher saya, membuat susah untuk bernafas. 

Malam itu, sudah sangat lama semenjak istri saya terakhir kali makan, karena selalu mendahulukan memberi makan pada anak-anak. Tidak ada pemandangan yang lebih mengerikan dari pada ini, istri saya yang tercinta, tak kuat rasanya memandang istri yang akkhirnya terbaring memejamkan mata dan tidak dapat membukanya kembali "AAAAAAAAARGHHHH!!!"

"Apa kamu sudah dengar? Tentang pak Doni guru sejarah kita?"

"Iya, pasti sangat menyeramkan yah? Kasihan kelas 10B"                        

"Tapi lebih kasihan pak Doni sih.."

"Iya... Sejak kepergian almarhumah istrinya saat kejadian itu Pak Doni jadi bertingkah agak aneh. Tapi yang kemarin di kelas 10B itu seperti puncaknya, berteriak seperti itu"

" Drama sejarah saat itu tidak akan pernah terlupakkan, kalau saja ketahuan dan dibawa ke rumah sakit lebih awal, mungkin masih dapat diselamatkan.. hiks"

"Tapi mau bagaimana lagi saat drama seluruh lampu mati dan tidak ada yang memperhatikan di kursi penonton"

"Sejak saat itu pak Doni seperti mendalami perannya dalam drama.."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun