Mohon tunggu...
Syafril Hernendi
Syafril Hernendi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Living Life to Your Fullest

Personal Development Speaker | Email: syafril@syafrilhernendi.com | FB: /syafrilhernendi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Revisionist, Gus Dur, Penyanjung dan Pencemooh

4 Januari 2010   04:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:38 1231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam panggung Marxisme dikenal 'revisionist'. Istilah ini menjadi milik mereka yang ingin memodifikasi ajaran Marx. Orang-orang ini berpendapat Marxisme tak mesti tetap. Sedikit perubahan dan kompromi ditambah sepuhan ide dari sekitar akan membuat Marxisme tidak akan keluar konteks jaman dan ruang. Selintas ini tampak sebagai upaya baik hati. Sayangnya, sebagian besar justru tak sependapat. Revisionist bukanlah istilah mulia yang patut dielukan. Alih-alih, revisionist adalah stempel hukuman mati. Seorang bercap revisionist tidak akan bisa lari jauh atau pernah merasa aman karena tiap saat bisa saja para agen ortodoksi melepaskan peluru yang akan menembus jantung. Namun sesungguhnya gejala ini tak unik milik para Marxist. Atas nama agama, patriotisme atau nama-nama yang lain, setiap usaha kompromi atau membuka diri bisa dibaca sebagai tanda kelemahan bahkan pengkhianatan. Tentu saja, dengan akibat yang tak kurang mengerikan. Kita kembali teringatkan tatkala sesorang yang pernah jadi presiden negeri ini yang juga dielukan sebagai tokoh pluralisme meninggal. Melalui media mainstream jelas sulit menemukan sesuatu yang tak baik, semenjak semua isi berita bernada salut dan penghargaan. Tapi dari wilayah yang tak tertangkap radar, berdiri sebagian pencemooh. Yang begitu yakin bahwa apa yang dilakukannya adalah sia-sia dan justru bisa mengundang murkaNya. Menganggap bahwa pengakuan atas yang berbeda adalah tanda kesalahan dan kelemahan. Dia dianggap bersalah karena ingin merangkul tatkala sebagian yang lain ingin tetap mempertahankan jarak. Dia ingin berkompromi sedangkan yang lain ingin tetap berkeras hati. Bagaimana bisa -terlepas dari baik dan buruknya sifat manusia- Tuhan akan lebih mencintai orang-orang yang mempertahankan sekat dan perbedaan dibanding mereka yang ingin merobohkannya? Akan hal ini mungkin kita perlu kembali pada hakikat hidup yang didambakan oleh semua agama dan ajaran moral. Itu adalah hidup harmoni antar sesama. Hidup yang jelas meniscayakan dicabutnya sekat kotak dan tiadanya duga curiga.[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun