Pandemi Covid-19 menjadi trend dan kajian utama setiap aspek yang hendak mengkajinya. Pertanyaan-pertanyaan seputar "apa itu Covid-19?', "bagaimana penanganannya?", "bagaimana dampak yang ditimbulkan?", sampai dengan "keuntungan apa yang dapat diperoleh dari pandemi ini?" pasti terlintas dan bahkan sampai pada proses perwujudan.
Dunia pendidikan salah satu bidang yang juga mendapatkan dampak dari pandemi Covid-19 ini dengan terpaksa harus merubah sistem konvensional menjadi sistem yang sarat teknologi.
Imbauan WFH (Work From Home) dan LFH (Learn From Home) memaksa siswa maupun guru merubah pola pembelajaran baik pada level Play Group (PG) sampai dengan Perguruan Tinggi (PT). Orangtua yang selama ini mempercayakan proses pembelajaran kepada institusi pendidikan dimana mereka menitipkan anaknya , mau tidak mau pada saat ini turut dipaksa mendampingi anaknya dalam proses pembelajaran yang berlangsung.
Pada masa transisi inilah kondisi yang smooth chaos pun terjadi, di mana sebagian orangtua yang tidak mengenal beberapa aplikasi pendukung teknis pembelajaran misal: schoology, ruang guru, google classroom, edmodo, dll turut dipaksa belajar mengikuti perkembangan yang ada.Â
Pertanyaannya "bagaimana dengan fungsi sekolah itu sendiri ?", pertanyaan kembali muncul menimpali pertanyaan sebelumnya adalah "fungsi yang bagaimana yang dimaksud ?". Fakta sosial diatas merupakan sebuah respon yang lumrah atau dapat dimaklumi mengingat kondisi seolah-olah semua dikembalikan pada orangtua khususnya.Â
Keadaan ini biasanya terjadi pada jenjang pendidikan wajib, dimana suatu pendidikan oleh sebagian golongan masih memiliki nilai atau pemahaman "diwajibkan" dan bukan "dibutuhkan". Sangat ironis di era global ini masih ada pemikiran - pemikiran yang seperti itu dimana fungsi sekolah hanya dilihat dari bentuk "keaktifan" fisik atau ruang gerak dengan batasan wilayah dan waktu.Â
Apa yang dimaksud dengan batasan wilayah dan waktu? Masih banyak cara pandang masyarakat yang menilai fungsi institusi pendidikan dalam hal ini sekolah terbatas pada ketika anaknya belajar di sekolah.Â
Pemikiran seperti ini merespon sebuah pemikiran lainnya terkait pada bentuk administrasi yang seharusnya menjadi sebuah kewajiban yang harus dipenuhi. Bagi sekolah yang bebas biaya operasional (atau yang sering kita sebut dengan istilah SPP) tidak menjadi persoalan yang signifikan, namun bagaimana dengan sekolah swasta dimana pendapatan operasional salah satunya berasal dari pemasukan siswa?
Di sinilah titik permasalahan yang muncul, tidak sedikit dari orangtua berpikir anak saya tidak masuk sekolah, maka seharusnya SPP di discount atau dihapuskan. Hal inilah yang memerlukan pencerahan dan pembelajaran secara khusus bagi setiap konsumen dunia pendidikan. Ruang gerak pendidikan tidak terbatas ketika setiap siswa melakukan pembelajaran konvensional, bertatap muka dengan gurunya atau sekedar datang ke sekolah.Â
Ruang gerak pendidikan tetap berjalan walaupun proses pembelajaran secara tatap muka tidak terjadi. Misalnya secara administratif nama seorang pelajar akan terus terdaftar dan berproses dalam satu tahun pelajaran berjalan, disanalah tanggungjawab administrasi peserta didik juga harus dipenuhi. Dalam kondisi LFH pun guru tetap bekerja sebagaimana struktural dan fungsional yang berlaku.
Namun di sisi lain tidaklah heran ketika kita melihat sebuah gaya hidup konsumen pendidikan sekarang yang hanya diukur dari apa yang didapat secara kasat mata, itulah yang harusnya dibayarkan. Dunia pendidikan telah bergeser pada ranah dan batasan ekonomi. Menilik konsep resiprositas yang seharusnya dimiliki dalam sebuah interaksi menurut  sosiolog Gouldner bahwa resiprositas pada intinya adalah tindakan yang didasari pada kewajiban timbal balik atas apa yang diterima atau atas apa yang telah diberikannya.