Mohon tunggu...
Sherly DA Gultom S.Sos M.Sosio
Sherly DA Gultom S.Sos M.Sosio Mohon Tunggu... Guru - Finalis OGN 2019

Finalis OGN Bidang Studi Sosiologi 2019 Pada saat ini aktif sebagai Wakil Kepala bidang Kurikulum di SMA Kristen Gloria 1 Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Edukasi, Politik, dan Wanita

29 Mei 2019   09:05 Diperbarui: 29 Mei 2019   09:09 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pembelajaran politik dalam keluarga dapat dimulai sedini mungkin. Pembelajaran politik dalam keluarga memiliki dampak yang luas dalam proses pemilihan atau penentuan kebijakan bahkan struktural didalam sebuah masyarakat. Pembelajaran politik dalam keluarga tidak terlepas dari bias gender yang dianut oleh masyarakat itu sendiri. Sosok laki - laki menjadi insan yang paling pantas dan mendapatkan hak istimewa untuk melaksanakannya. Sedangkan perempuan mendapatkan posisi yang ter sub -- ordinat dalam suatu masyarakat dalam hak pilih.

Terminologi politik itu sendiri memiliki makna sebagai proses atau cara mendapatkan atau biasa kita sebut dengan istilah power struggle, menggunakan dan mempertahankan kekuasaan (Budiardjo, Miriam, 2003). Politik merupakan bagian tata cara permainan 'catur' sosial yang hanya biasa dilakukan oleh kaum laki - laki. Bagaimana dengan wanita? Menjadi sebuah pertanyaan tersendiri ketika wanita dapat mengambil alih kewenangan dalam politik itu sendiri.

Wanita dalam konteks budaya patriarki memiliki posisi second level yang harus mengikuti keputusan yang dibuat oleh kaum laki - laki. Menurut Rosemary Radford Ruether (1996), masyarakat patriarki adalah masyarakat yang dasar prinsipil pengaturan sosial, baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat secara keseluruhan ada di tangan bapak.

Budaya patriarki merupakan budaya yang dominan yang diikuti oleh hampir seluruh masyarakat di dunia. Konsensus terbentuknya budaya patriarki tidak hanya dilegalkan oleh kaum laki - laki, namun kaum wanita pun ikut mengambil bagian dalam pelegalan budaya tersebut. Ketika seorang wanita tidak dapat mengikuti budaya patriarki yang ada, mereka akan diberikan label sebagai sosok wanita yang tidak 'baik'.

Tahun 2019 merupakan tahun politik yang cukup keras dalam proses keberlangsungannya di Indonesia. Penggalangan massa tidak hanya melibatkan kaum laki - laki, namun keterlibatan kaum wanita dan terkadang muncul jargon 'para emak', serta anak - anak pun menjadi satu target tersendiri untuk memenangkan suara. Politikus dan para tim sukses suatu kandidat tidak berhenti berkarya dan membatasi diri pada wilayahnya saja, namun wilayah yang sewajarnya tidak perlu untuk disentuh ternyata menjadi bagian dari target utama dalam proses pencapaian suara.

Ketika peran domestik diberikan kepada kaum wanita, tentu kita tidak lupa apa makna peran domestik itu sendiri. Wanita sebagai sosok pemelihara, pemenuh kebutuhan hidup (jasmani & rohani) bagi suami dan anak - anaknya memiliki peran lain yaitu mensosialisasikan nilai - nilai yang ada.

Pembelajaran akan pengetahuan tentang dunia politik perlu dipahami oleh setiap kaum wanita sebagai modal mereka untuk mengedukasi anggota keluarga mereka terlebih anak - anak mereka. Jika sosok wanita atau ibu kurang memahami makna dan eksistensi politik itu sendiri, tidak menutup kemungkinan pola perilaku perpolitikan suatu bangsa akan mengarah pada suatu pandangan dan perilaku menyimpang dalam sebuah proses berpolitik.

Politik tidaklah lebih dari sebuah kancah persaingan atau kompetisi dalam hal kekuasaan, kewenangan dan kepemimpinan dalam meraih suatu cita - cita. Jika pada makna ini tidak dipahami secara objektif, tidak menutup kemungkinan pemahaman yang liar akan sebuah proses perpolitikan dan fanatik sempit pada salah satu kandidat akan membawa dampak kehancuran yang luar biasa bagi sebuah negara.

Wawasan dan wacana yang luas sangat diperlukan oleh kaum wanita guna dijadikan sebuah landasan kuat dalam memahami fenomena politik yang ada. Wacana yang luas mendasari kaum wanita untuk dapat mempertimbangkan dan mengeluarkan pendapatnya secara indepenndent atau tidak bergantung pada suami (kaum laki -- laki). Penghargaan dan toleransi yang besar pada keberbedaan akan menciptakan heterogenitas yang indah pada sebuah pilihan politik.

Karl Marx pada pandangannya mengenai pembagian kelas sosial secara ekonomi dapat kita aplikasikan pada fenomena pembagian kewenangan dan kekuasaan di masyarakat. Peter Beger mendifinisikan kelas sebagai "a type of stratification in which one's general position in society is basically determined by economic criteria" seperti yang dirumuskan Max dan Weber, bahwa konsep kelas dikaitkan dengan posisi seseorang dalam masyarakat berdasarkan kriteria ekonomi, maksudnya disini adalah bahwasannya pembedaan kedudukan seseorang dalam masyarakat berdasarkan kriteria ekonomi. Yang mana apabila semakin tinggi perekonomian seseorang maka semakin tinggi pula kedudukannya, dan bagi mereka perekonomiannya bagus atau berkecukupan termasuk kategori kelas tinggi high class, begitu juga sebaliknya bagi mereka yang perekonomiannya cukup bahkan kurang, mereka termasuk kategori kelas menengah middle class dan kelas bawah lower class (Kamanto, 1993).

Tidak sedikit kita jumpai, dimana kandidat - kandidat yang dijadikan pemimpin partai atau yang menempati jajaran struktural yang strategis didalam sebuah partai merupakan orang - orang yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi didalam suatu masyarakat. Namun kita juga tidak pungkiri dalam pernyataan Foucault mengenai pembagian kekuasaan bagi orang yang memiliki pengetahuan juga dapat terjadi didalam suatu masyarakat. Pengetahuan dan Kekuasaan mempunyai hubungan timbal balik.

Penyelenggaraan kekuasaan terus menerus akan menciptakan entitas pengetahuan, begitu pun sebaliknya penyelenggaraan pengetahuan akan menimbulkan efek kekuasaan. Demikian bunyi teori Michel Foucault tentang relasi Kekuasaan- Pengetahuan. Menurut Foucault kekuasaan lebih pada konteks individu, subjek yang ada pada lingkup yang paling kecil. Dimana kekuasaan menyebar tanpa dapat dilokalisasi dan meresap ke dalam seluruh jalinan perhubungan social (Foucault, 1980)

Wanita yang memiliki pemahaman dan pengetahuan yang cukup baik dalam hal politik dapat memiliki status yang cukup baik dalam hal pengendalian atau bahkan penentu pilihan politik didalam suatu masyarakat.

Bias gender akan selalu ada pada setiap budaya suatu masyarakat. Bias gender tidak hanya dilegalkan oleh kaum laki - laki, namun kaum wanita juga ambil bagian didalamnya. Hal ini pada akhirnya menjadi sesuatu yang dimaklumi oleh seluruh penganut budaya tersehut. Wanita pada dasarnya memiliki posisi yang tersub ordinat, yang menempatkan dirinya pada tingkatan pengikut saja dalam ranah politik.

Kaum wanita yang memiliki pengetahuan cukup akan politik, secara langsung maupun tidak langsung akan memberikan pembelajaran maupun contoh konrit pada proses perpolitikan dan keluarganya. Wanita yang memiliki pengetahuan lebih akan ranah politik dapat mengedukasi keluarganya terlebih anak -- anak dalam dunia perpolitikan. Pembelajaran akan pentingnya hak bersuara, pengimplementasian suara, penentuan keputusan akan dengan sangat mudah dan gamblang serta objektif ketika kaum wanita memiliki wewenang tersebut.

Tidak dipungkiri ketika wanita diposisikan hanya sebagai pengikut dalam ranah perpolitikan, maka batas pengetahuan mereka hanya sebatas sebagai pengikut tersebut. Tidaklah heran ketika apa yang mereka ketahui (yang terbatas) akan mereka edukasikan kepada anak -- anak mereka yang pada akhirnya akan menciptakan sebuah generasi yang terbatas pemahamannya tentag dunia politik.

Sikap subjektifitas yang tinggi akan menciptakan suasana dunia perpolitikan yang tidak sehat. Ironisnya subjektifitas tinggi akan melihat bahwa ego ataupun kandidatnya menjadi kelompok yang layak dielu -- elukan tanpa batas dan melihat lawan sebagai sosok yang pantas dijatuhkan. Di sinilah diharapkan peran perempuan menjadi sosok peran yang bertanggungjawab pada pola pembelajaran politik paling mendasar.

Perempuan sebagai agent of change memiliki peran yang sangat besar bagi perkembangan proses perpolitikan sutau bangsa. Perempuan yang memiliki pengetahuan yang lebih dan benar akan menjadi agen perubah yang berdampak kearah positif.

Pentingnya pembelajaran politik sedari dini merupakan salah satu tahapan penting dalam perkembangan suatu negara. Proses sosialisasi yang mendasar yang dilakukan pada ranah keluarga dan yang biasa dilakukan oleh kaum ibu (wanita) memiliki dampak yang besar terhadap pemahaman akan politik pada generasi berikutnya.

Wanita sebagai agent of change memiliki peluang untuk :

  • Mengedukasi pendidikan politik
  • Memberikan pandangan politik secara objektif
  • Memberikan pengaruh dalam pandangan politik

Dari ketiga hal diatas menempatkan sosok wanita memiliki tempat yang strategis dalam membangun manusia yang dewasa dalam dunia politik. Pentingnya pengaruh kaum wanita dalam proses pengedukasian, maka diperlukan suport atau dukungan dalam hal memperkuat pengetahuan maupun peluang atau kewenangan untuk bersuara.

Oleh : Sherly Deasy Anjuwita Gultom,S.Sos, M.Sosio

Finalis OGN Sosiologi 2019

Pada saat ini aktif sebagai Wakil Kepala bidang Kurikulum di SMA Kristen Gloria 1 Surabaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun