Pancasila merupakan jiwa bangsa yang berarti Pancasila berasal dari bangsa Indonesia sendiri, melekat kuat pada diri setiap bangsa sehingga pada dasarnya eksistensi Pancasila muncul bersamaan dengan eksistensi bangsa Indonesia. Pancasila menjadi ciri khas yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain karena nilai-nilainya yang bersifat unik dan disesuaikan dengan kondisi bangsa dan adat ketimuran. Meskipun istilah Pancasila sendiri baru dikemukakan pertama kali pada tanggal 1 Juni 1945 pada saat sidang pertama BPUPKI namun nilai-nilainya sebenarnya sudah diterapkan oleh bangsa Indonesia sejak jaman kerajaan-kerjaan feodal seperti kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Pancasila menjadi pandangan hidup dan pedoman bagi bangsa Indonesia sehingga setiap perbuatan dan tindakan yang diambil juga harus disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila. Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa tujuan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial yang berkedaulatan rakyat dengan didasarkan Pancasila.
Berdasarkan alenia keempat pembukaan UUD 1945, negara Indonesia menganut sistem kedaulatan rakyat. Istilah ini dapat diartikan sebagai demokrasi yang berarti pemerintahan berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk kepentingan rakyat. Hal ini juga didukung oleh sila keempat Pancasila yang juga menyebutkan adanya kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Oleh karena itu, negara Indonesia sudah seharusnya menganut sistem demokrasi Pancasila yang dilandasi oleh Pancasila sebagai dasar negara (landasan idiil) dan UUD 1945 sebagai konstitusi negara (landasan konstitusional). Dengan adanya penerapan demokrasi Pancasila diharapkan keseteraan rakyat dan hak-hak dasar rakyat dapat terwujud. Karakteristik khas yang membedakan demokrasi Pancasila dengan demokrasi di negara lain adalah Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar demokrasi. Oleh karena itu, demokrasi Pancasila disebut juga sebagai "teodemokrasi".
Berdasarkan catatan sejarah yang ada, terdapat beberapa sistem demokrasi yang pernah diterapkan di Indonesia antara lain demokrasi parlementer (1945-1959), demokrasi terpimpin (1959-1966), demokrasi orde baru (1966-1998) dan demokrasi langsung (setelah era reformasi). Demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, dan demokrasi orde baru tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya karena adanya penyimpangan-penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945 yang pada akhirnya melahirkan kekuasaan yang sewenang-wenang dan ketidakadilan yang dilakukan oleh para pemimpin dan kaum elit. Hal ini membuat bangsa Indonesia melakukan penolakan dan demonstrasi untuk meruntuhkan kepemimpinan yang ada. Pada akhirnya, lahir sistem demokrasi langsung yang diterapkan setelah masa reformasi hingga saat ini.
Sistem demokrasi Pancasila seharusnya lebih mengedepankan partispasi rakyat dalam setiap pengambilan keputusan dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat. Dengan begitu, setiap permasalahan akan dilakukan pembahasan bersama dengan rakyat sehingga keputusan yang diambil akan sesuai dengan kehendak dan aspirasi rakyat. Keputusan yang diambil oleh para pemimpin juga harus bersifat jujur, adil, serta dapat dipertanggungjawabkan baik kepada Tuhan maupun kepada rakyat. Ide-ide yang dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan harus merupakan ide yang terbaik bukan hanya yang mendapatkan suara terbanyak. Selain itu, negara harus memberikan kebebasan yang bertanggung jawab sekaligus perlindungan kepada rakyat untuk menyampaikan pendapat, kritik dan saran atas pelaksanaan pemerintahan. Kebebasan berpendapat ini dapat diberikan terhadap perorangan, suatu perkumpulan masyarakat, maupun pihak pers. Setiap pihak yang mengemukakan pendapat dengan cara yang tepat tidak boleh dibungkam karena hal tersebut bertujuan agar pelaksanaan pemerintahan dan sistem demokrasi berjalan lebih baik daripada sebelumnya. Dengan demikian, akan tercipta hubungan timbal balik (feedback) dari pemerintah kepada rakyat maupun sebaliknya.
Rakyat juga seharusnya diberi kesempatan untuk duduk dalam kursi pemerintahan dengan sistem pemilihan yang adil, terbuka, serta merata. Diharapkan aspirasi rakyat dapat terwakilkan dengan baik karena para pemimpin berasal dari golongan rakyat yang berbeda-beda dan tidak didominasi oleh suatu kelompok (elit) tertentu. Demokrasi yang baik juga harus menjunjung tinggi HAM (Hak Asasi Manuasia) dan adanya diskriminasi terhadap suatu kelompok minoritas merupakan hal yang dilarang. Selain itu, diharapkan adanya sistem peradilan yang bebas dan adil untuk menghukum setiap orang yang bersalah. Setiap orang seharusnya mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum. Sering dijumpai perkataan bahwa "hukum bersifat tumpul ke atas dan runcing ke bawah". Hal ini menandakan bahwa sistem hukum di Indonesia masih sering berpihak pada orang-orang tertentu yang memiliki kekuatan besar baik dalam hal jabatan maupun kekayaan sedangkan menindas orang-orang lemah. Hukuman yang diberikan kepada pihak-pihak ini biasanya hanya berupa hukuman ringan padahal kejahatan yang dilakukan sangat merugikan negara.
Gagasan-gagasan mengenai bagaimana demokrasi Pancasila yang seharusnya nampaknya berbanding jauh dengan kenyataan yang ada. Terdapat banyak penyimpangan baik terhadap Pancasila, UUD 1945 maupun dasar demokrasi itu sendiri. Contohnya adalah adanya "dinasti politik" sehingga pihak-pihak yang duduk sebagai pemimpin baik dalam tingkat  nasional maupun regional merupakan pihak yang memiliki hubungan satu sama lain baik hubungan keluarga, kekerabatan maupun pertemanan. Pemilihan umum yang seharusnya menjadi ajang pemilihan wakil rakyat secara adil dan terbuka menjadi ajang perebutan kekuasaan dengan mengandalkan koneksi dan relasi. Keadilan yang diharapkan menjadi dasar demokrasi seolah hanya menjadi ekspektasi. Para pihak yang terkesan tidak "mumpuni" justru duduk sebagai pemegang kekuasaan dan menjadi wakil rakyat tanpa memahami konsep demokrasi. Ini memunculkan adanya sekelompok kaum oligarki yang mendominasi sistem politik di Indonesia sehingga konsep demokrasi yang seharusnya berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Akibatnya, sering terjadi benturan kepentingan dalam pengambilan setiap keputusan. Keputusan yang diambil hanya didasarkan pada kepentingan pribadi para penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya padahal seharusnya aspirasi dan kepentingan rakyat yang harus menjadi landasan.
Bobroknya sistem demokrasi di Indonesia juga nampak pada kenyataan bahwa para pihak yang mencalonkan diri sebagai wakil rakyat akan melakukan berbagai hal demi kemenangannya. Salah satunya adalah dengan membagikan sejumlah uang disertai dengan janji-janji manis adanya kesejahteraan dan pemerataan kepada masyarakat agar namanya terpilih. Pemilihan umum yang seharusnya menjadi sarana yang adil dalam memilih pemimpin hanya menjadi sarana "taruhan uang" dan sarana "umbar janji". Setiap calon berlomba-lomba memberikan uang lebih banyak kepada masyarakat dan mengarang kata-kata indah sebagai janji yang memikat untuk meningkatkan jumlah pemilihnya dan mengalahkan lawan politiknya. Pada akhirnya, masyarakat akan memilih pihak-pihak yang mampu memberi uang lebih banyak tanpa memedulikan program kerja dan tanggung jawab yang dibawa. Setelah menduduki kekuasaan pemerintahan, pihak-pihak ini seolah lupa dengan berbagai hal yang dikatakan saat meminta dukungan dari rakyat. Mereka juga menutup mata dan telinga terhadap segala penderitaan rakyat. Protes dan kritik dari rakyat sering dibungkam dengan tuduhan "pencemaran nama baik" untuk melindungi kekuasaannya. Kursi jabatan yang seharusnya dijadikan sebagai sarana untuk mewakili rakyat demi terwujudnya demokrasi  berubah menjadi sarana mengumpulkan materi dan relasi. Jabatan yang menjadi simbol kekayaan dan kekuasaan juga nampak pada banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh wakil rakyat.
Prinsip dasar demokrasi yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat juga seakan ditampik dengan adanya kenyataan bahwa para wakil rakyat sering mengambil kebijakan yang bias terhadap kepentingan pribadinya, bukan kepentingan rakyat. Kalimat "demi kesejahteraan rakyat" seolah menjadi alibi yang sering dilontarkan para penguasa saat mengambil berbagai kebijakan padahal suara-suara rakyat sering diabaikan atau bahkan dibungkam. Kritik pedas dari rakyat terhadap sistem pemerintahan sering dianggap sebagai percobaan makar yang memunculkan konsekuensi dan tuntutan hukum. Akibatnya, pihak ini akan dibungkam rapat  atau bahkan keamanannya terancam padahal prinsip dasar demokrasi seharusnya mengedepankan aspirasi rakyat. Tumpang tindih sistem demokrasi juga nampak dari adanya diskriminasi terhadap aspirasi kelompok minoritas yang sering dianggap tidak memiliki pengaruh. Pertimbangan dalam pengambilan kebijakan hanya berfokus pada kelompok mayoritas yang bisa memberikan suara lebih besar padahal demokrasi yang baik seharusnya mendengarkan semua suara tanpa terkecuali. Keputusan yang tepat seharusnya adalah suara yang terbaik bukan yang terbanyak.
Adanya berbagai penyimpangan dan ketidakadilan membuat kepercayaan rakyat terhadap para wakilnya perlahan memudar. Pihak-pihak yang diharapkan menjadi penyambung lidah rakyat untuk memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan justru hanya menjadikan rakyat sebagai kedok untuk membenarkan perbuatan yang egois dan bahkan merugikan rakyat itu sendiri. Eksistensi wakil rakyat yang terkesan sia-sia ini membuat rakyat turun tangan dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya melalui jalur demonstrasi. Rakyat turun ke jalan dan mendatangi kantor-kantor pemerintah seperti kantor DPR. Alih-alih aspirasinya didengar secara langsung oleh para pemimpin, demonstrasi yang terjadi justru menjadi ironi kelam karena sering menimbulkan kekacauan atau bahkan korban jiwa. Harapan agar wakil rakyat menemui mereka secara langsung hanyalah ekspektasi belaka karena pada faktanya para demonstran hanya berteriak di depan gedung instansi tanpa adanya tanggapan. Ini yang memicu tindakan brutal dan anarkis, seperti perusakan fasilitas umum dan gedung instansi sebagai pelampiasan amarah karena suaranya terus diabaikan. Melihat kondisi yang semakin tidak terkendali, aparat berwajib dikerahkan untuk memadamkan amarah demonstran yang justru sering berakhir dengan adanya bentrok hingga menimbulkan korban jiwa. Gas air mata, timah peluru panas, dan kekerasan fisik aparat menjadi pemandangan wajar bagi para demonstran yang bersikukuh menyampaikan suaranya. Di satu sisi, para demonstran juga bersalah karena memicu dengan tindakan anarkis dan perusakan. Di sisi lain, disinilah salah satu letak ironi kelam demokrasi yang sebenarnya.
Dalam kondisi pandemi Covid-19 seperti saat ini, terdapat kekuasaan pemerintah yang besar dalam mengambil kebijakan baik kebijakan politik, ekonomi, maupun kesehatan. Sayangnya, kebijakan yang diambil sebagian besar hanya didasarkan pada gagasan "kaum permukaan" tanpa mempertimbangkan aspirasi dan kondisi rakyat sepenuhnya. Apabila pandemi masih berlanjut dalam waktu yang lama, dikhawatirkan terjadi kekuasaan yang otoriter dari pemerintah. Selain itu, kebebasan partisipasi rakyat juga dibatasi akibat adanya pandemi. Pengawasan dari pemerintah terhadap sistem demokrasi dan kinerja aparatur negara juga kian melemah karena hal yang difokuskan saat ini adalah penguatan ekonomi nasional dan penurunan angka penyebaran virus. Lemahnya pengawasan pemerintah semenjak masa pandemi ini dimanfaatkan oleh banyak pihak yang berkuasa sebagai ajang memperkaya diri. Hal ini terbukti dari meningkatnya kasus korupsi semenjak masa pandemi yang menyeret banyak nama-nama besar di pemerintahan seperti menteri maupun pemimpin-pemimpin dalam kementerian.
Penerapan demokrasi di masa pandemi masih nampak pada pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2020. Di satu sisi, rakyat dibuat dilema antara situasi pandemi yang dikhawatirkan bertambah parah akibat pelaksanaan Pilkada. Di sisi lain, adanya Pilkada membuktikan bahwa rakyat masih mendapatkan hak untuk memberikan suara dalam memilih wakilnya. Meskipun demikian, isu "dinasti politik" masih melekat erat dalam setiap pelaksanaan pemilihan umum. Hal ini terbukti dari adanya beberapa isu pembongkaran cara licik calon dalam memenangkan Pilkada. Cara licik ini dilakukan dengan melemahkan kekuatan dan peluang menang calon lawan maupun secara terang-terangan memukul mundur calon lawan melalui kekuatan koneksi dengan pejabat yang lebih tinggi. Contohnya adalah isu kemenangan Pilkada putra pemimpin besar di Indonesia yang dilakukan dengan memaksa mundur calon lawan. Ini juga menjadi bukti ironi pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Sistem demokrasi yang baik seharusnya mengedepankan prinsip keadilan dalam penyelenggaraan pemilihan umum agar pemimpin yang terpilih benar-benar mampu memperjuangkan kesejahteraan rakyat.