Mohon tunggu...
Sherin Megananda
Sherin Megananda Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Hai, welcome to my page

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dinamika Reunifikasi Semenanjung Korea di Bawah Kepemimpinan Kim Jong Un

12 Mei 2020   15:40 Diperbarui: 12 Mei 2020   15:36 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.voanews.com

Pada tulisan ini, penulis akan mengajak pembaca melihat lanjutan proses reunifikasi dibawah kepemimpinan Kim Jong Un, apakah tetap dilanjutkan sebagaimana yang telah dilakukan oleh ayahnya, Kim Jong Il atau malah sebaliknya. Kim Jong Un dapat dinilai masih sangat muda saat dirinya menjabat sebagai Presiden Korea Utara yaitu berusia 28 tahun, namun sebelumnya Kim Jong Un sudah dipersiapkan oleh ayahnya untuk menempati posisi penting ini mulai dari pendidikan hingga pernah menduduki jabatan penting sebelum menjadi Presiden. Selama masa kepemimpinannya, Kim Jong Un dikenal publik sebagai pemimpin kejam agresif dan tegas yang membawa Korea Utara dalam kepemimpinan diktator. Kim Jong Un dengan kebijakan Military First nya akan menggunakan Nuklir sebagai produk diplomasi untuk mendapatkan bantuan ataupun sebagai pembuktian bahwa dirinya adalah pemimpin muda yang bertanggung jawab. Dan dampak dari penggunaan senjata pemusnah massalnya tersebut tentu menciptakan keresahan di kawasan Asia Timur dan juga dunia internasional. Meskipun begitu, Kim Jong Un juga memiliki perbedaan dengan Kim Jong Il karena beliau lebih dapat terbuka dengan dunia Internasional dibanding kepemimpinan sebelumnya.

Korea Selatan dengan pemimpin-pemimpin barunya terus memprioritaskan upaya reunifikasi terlebih semenjak Kim Jong Un berada di kursi kepemimpinan, masalah pengupayaan reunifikasi menjadi bertambah dengan upaya denuklirisasi. Seperti contohnya pada pemerintahan Presiden Korea Selatan, Park Geun Hye. Beliau menyatakan kesiapannya untuk bertemu dalam satu perundingan dengan Kim Jong Un guna membahas reunifikasi dan denuklirisasi. Namun hal tersebut ditolak oleh Kim Jong Un. Selanjutnya, kementrian pertahanan Korea yang mengharapkan kehadiran Pyongyang pada sebuah dialog pertahanan Seoul yang juga dihadiri oleh 30 Negara lain termasuk AS dan Tiongkok, permintaan ini pun kembali ditolak oleh Kim dengan dalih Korea Selatan masih terus melakukan latihan perang militer gabungan dengan Amerika Serikat. Upaya reunifikasi dan denuklirisasi yang dilakukan Park Geun Hye semasa pemerintahannya merupakan bentuk asli kegagalan bagi semenanjung Korea untuk kembali bersatu seperti sedia kala.

Selanjutnya, pada masa kepemimpinan Presiden Korea Selatan Moon Jae In. Dinamika reunifikasi Semenanjung Korea yang menurun tampaknya mulai menemukan titik terang semenjak Kim Jong Un bersedia untuk melewati perbatasan dan menemui Moon Jae In dalam sebuah pertemuan di Panmunjom guna untuk membahas reunifikasi sekaligus denuklirisasi pada 27 April 2018. Pertemuan bilateral ini mendapat sambutan baik oleh masyarakat dunia yang telah lama mengharapkan adanya pembicaraan terbuka diantara kedua negara ini. Dalam pertemuan ini, kedua negara membuat beberapa kesepakatan, pertama: Korea Utara dan Selatan akan meningkatkan hubungan demi terciptanya kesejahteraan dan bersatu kembali secara mandiri, Kedua: Korea Utara dan Selatan akan bekerja sama mengurangi ketegangan militer, Ketiga: Korea Utara dan Selatan berjanji akan bekerja sama mengupayakan perdamaian abadi di semenanjung Korea. Pertemuan bersejarah ini merupakan awal tonggak perdamaian kedua Korea.

https://www.voanews.com
https://www.voanews.com

Pertemuan Panmunjom merupakan hal yang tidak diperkirakan akan terjadi sebelumnya, mengingat intensitas ketegangan militer yang terjadi diantara keduanya. ini kemudian menarik melihat Kim Jong Un secara tiba-tiba bersedia untuk berbicara setelah berkali-kali terus melakukan penolakan. Jika melihat karakteristik Kim, tentu dirasa akan bertolak belakang. Hal ini menimbulkan kebingungan dikalangan peneliti dan pengamat politik karena selama masa kediktatorannya, mereka belum bisa menemukan pola pikir Kim yang berguna unuk membantu memprediksi langkah-langkah yang ia ambil di masa depan. Dalam buku “The Real North Korea: Life and Politics in theFailed Stalinist Utopia, Lankov melihat bahwasanya Kim Jong Un merupakan seorang pemimpin yang tidak dapat diprediksi dan tidak terduga. Hal tersebut bisa jadi karena Kim Jong Un masih sangat muda untuk menjadi seorang Presiden, memiliki sifat emosional, tidak sabar mematangkan suatu hal untuk membuat sebuah keputusan.

LANDASAN TEORI

Dan jika kita melihat secara teori, hal-hal diatas dapat dijelaskan dengan sebuah teori yang merupakan salah satu teori dari Hubungan Internasional, yaitu teori Post Modernisme yang mana sebuah teori yang menggabungkan antara kekuatan (power) dan pengetahuan (knowledge) untuk menghasilkan sesuatu yang dapat di dekonstruksi(dirusak dan dibangun lagi). Menurut Post Modernis power diartikan sebagai sesuatu yang dapat mempengaruhi yang lainnya, dalam hal ini bisa dilihat power sebagai sebuah negara. Bagaimana negara mempengaruhi negara lainnya.

Post Modernis memiliki 5 asumsi dasar yaitu : 1) PostModernis tidak mencari kebenaran mutlak, akan tetapi kebenaran yang plural dan relatif. Mereka menganggap sesuatu yang melibatkan manusia bersifat subjektif. 2) PostModernis percaya knowledge dan power memiliki keterkaitan, yang mengakibatkan pengetahuan tidak kebal dari power 3) PostModernis tidak mempercayai penemuan kebenaran dunia sosial karena itu dinilai tidak masuk akal. 4) PostModernis melihat tatanan dunia merupakan rekonstruksi dari manusia bukan semata-mata ada dari tuhan. 5) PostModernis melihat bahwa State dan manusia mempunyai sovereignity.dan pengetahuan bergantung pada sovereignity yang dimiliki manusia.

Dalam kaitannya dengan tulisan ini, post modernis sendiri melihat perang Korea yang mengakibatkan bertambah pecahnya semenanjung Korea menjadi 2 itu sebagai sebuah perubahan tatanan sosial atau juga bisa disebut sebagai dekonstruksi, dengan Korea yang pada awalnya merupakan sebuah satu negara utuh, kemudian ‘dihancurkan’ dan ‘dibangun’ kembali meskipun tidak seperti keadaan awal, yakni dengan terbagi menjadi 2 negara. Proses dekonstruksi ini merupakan proses dimana terjadinya perubahan karena adanya power dan knowledge, power yang dimaksud adalah para pemenang perang dunia 2 yang berhasil menggunakan powernya untuk memecah belah semenanjung korea. Sedangkan dalam melihat reunifikasi Korea pada masa Kim Jong Un yang tidak terduga itu, maka kita bisa kembali melihat pada asumsi dasar post modernis yang dikemukakan pada buku Jackson Sorensen, bahwa rekonstruksi merupakan perbuatan dari manusia, reunifikasi yang diupayakan dari Presiden Korea Selatan Kim Dae Jung hingga Moon, dan Presiden Korea Utara dari Kim Jong Il hingga Kim Jong Un merupakan pure perbuatan dari seorang manusia yang menginginkan kehidupan yang lebih baik dalam payung perdamaian. Post modernisme sendiri dalam melihat reunifikasi ini, berasumsi bahwa suatu saat semenanjung korea akan kembali bersatu dengan catatan melakukan dekonstruksi, yang berarti menghancurkan perbedaan dan kembali menyusun persamaan diantara 2 korea yang tentu harus disertai dengan adanya Power dan Knowledge.

KESIMPULAN

            Reunifikasi Korea yang selalu menjadi topik pembahasan utama diantara hubungan bilateral pada masa Kim Jong Un telah memasuki babak yang lebih sulit, hal ini karena kebijakan military first Kim yang menggunakan nuklir sebagai alat diplomasinya. Hal tersebut memicu bertambah tegangnya semenanjung Korea. Selain itu, melihat sisi karateristik Kim sebagai pemimpin yang tidak dapat diprediksi akan menyulitkan negara-negara lain untuk mengambil langkah-langkah selanjutnya. Namun, meskipun sempat mengalami ketegangan yang juga diakibatkan oleh senjata Nuklir tersebut, tanpa terduga titik terang reunifikasi semenanjung korea justru terlihat dimasa pemerintahan Kim Jong Un. Hal tersebut ditandai dengan pertemuan Kim Jong Un dan presiden Moon di desa panmunjon untuk membahas reunifikasi dan denuklirisasi. Keputusan Kim Jong Un sangatlah tidak terduga karena pada masa pemerintahan presiden sebelum Moon, Park gye ? Kim selalu menolak kerjasama atau pertemuan yang ditawarkan oleh Korea Selatan, sejauh ini menurut penulis penolakan tersebut karena Kim melihat terlalu banyak intervensi Amerika Serikat didalam upaya reunifikasi pada masa itu, dan pada saat pemerintahan saat ini, penulis menilai bahwa Moon telah banyak belajar dari pemimpin sebelumnya untuk memaksimalkan negosiasi dengan Kim Jong Un, hal ini juga selaras dengan teori post modernis yang mengasumsikan bahwa Power dan Knowledge merupakan hal yang saling berkaitan satu sama lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun