Aku mendengarkannya dengan seksama sambil mencatatnya di alam pikir. Kemudian Raga Patmi melanjutkan. “Satu rahasia lagi, ketika dijilat kulitnya terasa hambar. Tidak lagi asin seperti ketika masih hidup.”
“Hmm, mengapa bisa begitu ya, Bu?”
“Entahlah, itu sepertinya pertanda kehidupan sudah berakhir. Kehidupan fisik kita telah sirna.”
Aku jadi teringat sebuah film asing berjudul Castaway on The Moon. Tokoh utama yang tersesat seorang diri di sebuah pulau kecil, membuat makanan dan menggarami makanannya dengan keringat yang mengucur dari tubuhnya. Tetesan keringatnya diamankan dalam botol kecil. Ketika memasak diteteskanlah keringatnya. Berarti benar, keringat memang asin. Bisa dibuat penggati garam untuk mendapatkan cita rasa asin.
“Apa lagi ciri-ciri orang mati Bu, selain yang Ibu sebutkan tadi? Apakah tidak ada perasaan takut atau jijik?” rasa penasaranku tambah menggila.
“Yang saya sebutkan tadi itu sudah ciri yang utama, yang dialami hampir semua orang. Selebihnya hanya berbeda keadaan. Ada yang dalam keadaan sehat ketika meninggal, ada pula yang membawa sakitnya hingga meninggal. Sebenarnya sakit atau apa pun alasannya hingga ia meninggal hanya sebuah jalan. Sebenarnya sudah tiba waktunya harus kembali kepada Tuhan. Malaikat maut sudah memegang catatan siapa yang harus dicabut nyawanya, jam berapa, ketika sedang apa, dan di mananya. Sakit, kecelakaan, dan sebagainya hanya pengalihan agar malaikat maut tidak disebut sebagai penyebab. Lucu. Ketika Adik tanya mengapa si Fulan meninggal, maka kerabat dan tetangganya akan bilang ‘karena sakit, karena jantung, karena kecelakaan, dan sebagainya,’ jadi ada keadaan yang bisa disalahkan.” Raga Patmi tertawa.
Masih sambil tersenyum, Raga Patmi meneruskan, “Karena jantung? Ya iyalah, kan jantungnya berhenti. Karena jantungnya tidak berdetak lagi pasti mati!” tertawanya bertambah keras. Aku yang mendengarkannya merinding.
“Kembali ke keadaan mayat, saya bilang tadi keadaannya beda-beda. Ada yang masih mulus utuh, ada yang digerogoti ulat. Ada yang tersenyum, ada yang menakutkan wajah dan matanya. Ada yang telentang biasa, ada yang meringkuk, ada yang sujud, ada yang miring. Macam-macam. Yang digerogoti ulat kebanyakan karena membawa penyakit kencing manis basah sehingga ketika dimandikan berbau amis. Ada yang mengeluarkan cairan tidak henti-hentinya dari kemaluannya, ada pula yang keluar kotoran dari duburnya. Ada yang mengeluarkan bau yang sedang dari tubuhnya, ada pula yang mengeluarkan bau darah dan bangkai. Yang paling parah ketika harus memandikan korban kecelakaan parah atau korban ledakan petasan. Kita seperti sedang mencuci potongan-potongan daging ayam.” Kembali Raga Patmi tertawa renyah.”
“Sejak pertama kali saya memandikan mayat, saya tidak takut atau jijik. Sepulang dari memandikan mayat saya juga tidak terpikirkan bagaimana wajah mayat bahkan dalam tidur pun ia tidak berani hadir. Mungkin malu, karena sayalah yang memandikannya. Jadi untuk menampakkan dalam mimpi saya, atau melintas dalam pikiran saya, ia enggan.”
“Ketika baru meninggal ada keadaan mayat dengan mata terbuka dan terpejam. Kalau terbuka, kita rapatkan kelopak matanya dengan mengusap wajahnya. Ada yang menganga mulutnya, ada yang tertutup rapat. Untuk yang mulut menganga, kita siasati dengan mengikatnya dengan kain melingkari wajahnya hingga mulutnya terkatup rapat.”
“Ada yang meninggal dengan wajah berseri-seri ada pula yang meninggal dalam keadaan sedih, bahkan ada yang mengeluarkan air dari matanya tak henti-henti. Ada pula yang meninggal dengan wajah seperti ketakutan bahkan lebih legam dari sewaktu ia hidup.”