Ada sebuah media mengadakan lomba menulis cerpen. Tahulah apa itu cerpen. Cerpen itu cerita pendek! Anehnya, media ini memberikan tema ‘angka 1 sampai 30.’ Unik juga, tetapi agak bingung ketika mau menulis kalimat pertama. Atau angka itu akan diapakan. Harus berpikir keras agar cerita yang akan dibuat itu unik, menarik. Memang banyak sih, cerita tentang angka-angka. Ada kamar 13, gerbong 7, Gang 6, Lantai 27, atau apapun judulnya sudah banyak yang membuat cerita-cerita seperti itu. Nah, sulitnya aku mau menulis tentang apa dan dari mana memulainya, mengawalinya, dengan batasan angka 1 sampai 30 seperti itu. Mau kuapakan angka-angka itu. Sementara sudah banyak orang yang telah menulis tentang kamar tentang kamar, gerbong, alamat, yang berhubungan dengan angka-angka. Enaknya apa ya? Yang seru memang gerbong atau kabin. Kabin 19, kabin 21, kabin 29.
Hmmm, kalau dilihat pembatasan angkanya 1 sampai 30 sepertinya jumlah hari dalam sebulan. Mungkin ada hubungannya dengan ulang tahun si media. Tapi, apalah dan terserahlah yang penting bagaimana caranya meramu angka 1 sampai 30 menjadi cerita yang menarik dan berkesan.
Sebenarnya aku tidak mau dipaksa membuat cerita dengan batasan-batasan  angka. Aku sangat muak dengan angka. Dari angka 1 sampai 10 yang paling kubenci adalah angka 5. Aku mempunyai pengalaman pahit dengan angka 5 itu. Dan itu membekas hingga kini. Hingga aku dewasa seperti saat ini.
Angka 5 membuatku kecewa yang begitu dalam. Kata anak-anak jaman sekarang ‘gegana.’ Angka 5 membuatku merasa dianiaya dan didholimi. Dan si pembuat angka 5 itu adalah Abdul Hadi. Si kurus, berkulit gelap, dan berjenggot. Dari jauh kelihatan seperti kambing. Sangat tidak mengesankan dipandang. Tidak ada pesona sama sekali sebagai manusia. Maaf Tuhan, bukan aku menghina ciptaanMu, tapi karena kelakuannya mencetak angka 5 pada hidupku yang masih panjang, aku tidak menyukainya. Aku membencinya! Aku tidak memaafkannya hingga sekarang. Dia telah membuat angka 5 pada ijazahku. Angka 5 pada pelajaran Matematika. Angka 5, yah, angka 5! Karena angka 5 itulah jalan menuju cita-cita terhalang seperti palang pintu kereta api. Jalan menuju impianku dibendung seperti batuan besar menghambat aliran sungai.
Sungguh, si Abdul Hadi ini benar-benar keterlaluan, Tuhan. Sampai kapan pun aku tidak akan memaafkannya. Dengan Angka 5 ini aku telah ditolak bekerja. Aduh, maaf di sini tidak ada lowongan, kata personalia ketika kuajukan lamaran kerja. Ketika dia melihat angka 5 pada ijazahku.
Abdul Hadi ini melihatku seperti barang, Tuhan. Dia tidak layak sebagai guru. Dia layaknya menjadi tukang catat barang, tukang nilai barang. Bukan seorang guru. Atau, jadikan saja dia tukang sapu di kantor atau di pasar. Dia tidak layak memberi nilai dengan angka 5 pada ijazah siswa, yang siswa itu adalah anaknya karena dia bapak angkat di sekolah yang diamanahkan orangtua siswa.
Dengan Angka 5 itu mau kuliah di mana aku? Perguruan tinggi mana pun, tidak akan menerima, tentunya yang bukan abal-abal. Kalau yang abal-abal tinggal bayar sudah jadi ijazahnya. Dengan angka 5 itu, aku sempat menganggur. Kemudian apa yang terjadi? Dengan angka 5 pekerjaan pertamaku adalah sebagai seorang sales. Sales obat-obatan. Ck ck ck!
Sebagai sales, aku cuma mampu bertahan 1 minggu. Lalu, aku kabur. Aku pun dikejar-kejar orang perusahaan karena melanggar perjanjian 3 bulan kontrak kerja tanpa komisi dan uang makan. Orang tuaku tidak terima. Orang tuaku kemudian menyewa beberapa tentara berpangkat lumayan. Ijizahku yang ada Angka 5-nya pun diambil paksa. Ijizahku yang ada Angka 5-nya itu berhasil direbut.
Pekerjaanku kedua dengan angka 5 itu aku menjadi penjaga toko sepatu dan sandal. Aku menjaga sepatu dan sandal. Setiap pagi dan sore aku mengelapnya agar tampak tetap bersinar. Agar pengunjung menyukainya. Aku melayani orang yang datang. Aku menjualkan. Mau tahu gajiku berapa saat itu? 30 ribu rupiah sebulan. Harga mas saat itu masih 25 ribu. Sementara toko-toko lain buruhnya sudah bergaji 5 kali lipat dari gajiku. Dalam hati sebenarnya aku tidak mau bekerja seperti itu. Aku mempunyai cita-cita menjadi seorang presiden. Atau, paling tidak sedikitnya menjadi dokter hewan. Paling sial bekerja di kantor dengan penampilan yang rapi dan gaji yang cukup. Tapi, ternyata hanya menjadi penjaga sepatu dan sandal.
Huh, angka 5 ini yang menjadi masalah dalam hidupku. Angka 5, oh angka 5! Seiring dengan berdetaknya waktu, sebenarnya ada hikmah yang dapat kunimati, tapi hikmah itu bukan dari kamu, Abdul Hadi! Hikmah itu dari Tuhan karena kasih sayangNya kepadaku. Karena Tuhan menganggapku manusia sedang kamu menganggapku barang. Makanya, kau tidak kumaafkan!
Hikmah itu, hadiah dari Tuhan itu adalah aku lolos masuk perguruan tinggi negeri terpandang di kota Malang. Dan hikmah yang paling besarku yang sangat mengesankan, aku diberi kesempatan menempuh kuliah magister di Ateneo de Naga University, di kota Naga, Filipina. Tepatnya, sedikit ke arah Timur dari Manila dengan 1 jam pesawat.