Oleh: Sheren Loviana Sophian
Indonesia adalah negara maritim yang sebagian besar didominasi lautan. Tidak heran jika penggunaan luasnya lautan dijadikan sumber daya yang dapat dimanfaatkan sebagai pendapatan ekonomi kehidupan masyarakat. Salah satu contohnya adalah menjadi nelayan. Berbicara mengenai lautan, menurut KBBI laut adalah kumpulan air yang sangat luas (Kamus Besar Bahasa Indonesia, s.v. "Laut"). Di dalamnya terdapat berbagai macam makhluk hidup dari yang terkecil hingga ke terbesar.Â
Faktanya, paus merupakan mamalia satwa berukuran besar yang ada di lautan. Pembahasan lebih lanjut menjadi menarik ketika "Paus" dijadikan sebagai hewan buruan yang merupakan tradisi pada masyarakat di Nusa Tenggara Timur.
Lamalera merupakan salah satu desa atau kelompok masyarakat adat yang berada di Pulau Lembata, Kecamatan Wulandoni, Nusa Tenggara Timur. Secara etimologis, kata "Lamalera" terdiri atas dua kata, yaitu "Lama" dan "Lera". "Lama" diartikan sebagai pring dan "Lera" diartikan sebagai matahari. Maka, dapat disimpulkan bahwa Lamalera adalah "piring matahari" yang secara fenomenologis disimbolkan sebagai semesta kehidupan (makroskomos dan mikrokosmos) masyarakat Lamalera. Masyarakat Lamalera menganggap bahwa laut adalah ibu dari masyarakat Lamalera. Ibu yang mengandung knato (kiriman) Tuhan, yaitu ikan paus dan ikan-ikan lainnya. Masyarakat Lamalera memercayai bahwa paus bukanlah satwa buruan yang harus diburu demi mempertahankan hidup dalam arti sebagai pemberian rezeki dari Tuhan (Nay 2017, 358).
Mata pencaharian masyarakat Lamalera adalah nelayan, sehingga mereka sangat bergantung dengan hasil laut. Dalam melaksanakan perburuan paus, dilakukan secara beramai-ramai. Seorang Lamafa atau pemimpin yang memegang senjata dalam perburuan paus harus memiliki keberanian yang besar dalam bertaruh nyawa dalam menikam ikan paus.Â
Kemudian, Lamafa dibantu oleh Matros sebagai asisten Lamafa, Lamauri sebagai juru mudi kapal dan nelayan-nelayan lainnya. Terdapat beberapa alat sederhana yang digunakan dalam melaksanakan perburuan paus, yaitu paledang atau perahu, mata tombak, layar, dan dayung (Nay 2017, 356-7, 360).Â
Namun di saat nelayan pergi melaut, mereka tetap bergantung dengan ritual adat dan cuaca yang memengaruhi penangkapan ikan paus (Boli 2018, 82). Tradisi ini biasa berlangsung dari bulan Mei hingga Oktober. Salah satu pengaruh bagi kehidupan masyarakat Lamalera yaitu bagi kehidupan sosial. Di mana dalam hal ini gotong royong menjadi cara yang harus dilakukan oleh masyarakat Lamalera sebelum pergi melaut, contohnya seperti mendorong perahu.Â
Kita juga bisa melihat bahwa perburuan paus yang dilakukan oleh masyarakat Lamalera dinilai sangat mulia. Dalam hal ini semua lapisan masyarakat akan mendapatkan daging ikan paus, bahkan hingga bagian sirip, jantung, dan ekor juga akan dibagikan kepada masyarakat atau matros bisa juga (Kurniasari 2011, 31).
Jenis paus yang digunakan untuk berburu adalah paus sperma. Paus merupakan catacea yang masuk ke dalam spesies terancam punah (Nay 2017, 359). Paus yang tidak boleh diburu adalah paus yang sedang hamil, paus yang berwarna biru, paus muda dan sebagainya. Jika hal tersebut dilanggar, maka konsekuensi akan ditanggung.Â
Pada tahun 1986 kesepakatan internasional mengenai moratorium penangkapan paus telah menetapkan pelarangan perburuan paus untuk tujuan komersial, namun masih tetap untuk mengizinkan Sebagian masyarakat asli untuk memburu paus dengan jumlah yang terbatas berdasarkan perizinan dari International Whale Commision (IWC).Â
Di konvensi Genewa tahun 1931 juga menekankan bahwa masyarakat yang boleh melaksanakan perburuan paus hanyalah masyarakat yang menggunakan kano (perahu) atau alat tangkap tradisional yang menggunakan dayung dan layar serta dilakukan sendiri oleh masyarakat asli.Â