Mohon tunggu...
shenoela
shenoela Mohon Tunggu... lainnya -

:-)

Selanjutnya

Tutup

Nature

Sudahkah Kita Menghargai Invensi Karya Anak Bangsa?

30 November 2014   14:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:28 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bangsa yang maju adalah bangsa yang menghargai setiap invensi karya anak bangsanya." (Iwan Suprijanto, ST., MT., Kepala Bidang Program dan Kerjasama-Puslitbang Permukiman)

.

[caption id="attachment_379256" align="alignnone" width="630" caption="Pameran Produk Litbang Permukiman (dok.pri)"][/caption]

Kamis siang itu (27/11/2014) langit Jakarta berawan. Lalu lintas arah Blok M-Senayan ramai lancar. Di jalan Pattimura nomor 20—Kementerian Pekerjaan Umum: ke sanalah saya menuju, nangkring bareng teman-teman kompasianer.

Sebenarnya, Kementerian yang kini dipimpin oleh Bapak Basuki Hadimulyono itu telah berganti nama; menjadi Kemen PU dan Perra (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat). Dengan menambah kata ‘dan Perumahan Rakyat’ di belakang ‘Kementerian Pekerjaan Umum’, tampaknya Presiden Jokowi menaruh perhatian besar pada ketersediaan perumahan bagi masyarakat menengah ke bawah.

.

Hari Bakti PU

Tema Kompasiana Nangkring kali itu panjang sekali: Dukungan Inovasi Teknologi Bidang Permukiman dalam Akselerasi Program Permukiman 100-0-100 (100 % akses air minum; 0% luasan kawasan kumuh; 100% akses sanitasi). Mbak Citra, host yang cantik nan kreatif, menjadikannya sebagai kuis.

Enam orang kompasianer yang maju ke depan, diminta menyebutkan judul tema dengan lancar dan benar. Tentu saja tak boleh melihat sontekan. Banyak yang terpeleset lidah atau keliru mengurutkan kata. Hanya satu orang yang sukses. Sebagai ganjaran, sang kompasianer mendapat voucher MAP. Itulah sepenggal keseruan acara Kompasiana Nangkring bersama Kemen PU.

Kompasiana Nangkring digelar di Pendopo Gedung Cipta Karya. Rupanya, di lokasi yang sama, tengah berlangsung pula pameran produk litbang Kemen PU dan Perra. Tampak beberapa booth bergaya minimalis  mengisi sisi-sisi ruangan, membentuk letter L. Dua sisi lainnya digunakan untuk meletakkan peralatan sound system dan panggung bagi narasumber. Di tengah ruangan, tepat menghadap ke panggung, deretan kursi telah disediakan bagi para kompasianer.

Kompasiana Nangkring merupakan bagian dari rangkaian Hari Bakti PU. Sedianya, Hari Bakti PU diperingati setiap tanggal 3 Desember. Ada peristiwa bersejarah yang terjadi pada tanggal itu. Mbak Wardah Fajri, moderator acara, mengisahkannya secara singkat.

Tanggal 3 Desember, enam puluh sembilan tahun lalu, 7 orang karyawan PU gugur saat berjuang mempertahankan gedung PU di Bandung dari serangan Belanda. Untuk mengenang peristiwa tersebut, tanggal 3 Desember kemudian diperingati sebagai Hari Bakti PU. Pada saat ini, Gedung PU di Bandung digunakan sebagai kantor Gubernur Jawa Barat dan dikenal sebagai “Gedung Sate”.

Mengutip kata-kata Bung Karno bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa Pahlawannya.

.

Inovasi Teknologi dan Program 100-0-100

Membuka Kompasiana Nangkring, Mbak Wardah Fajri selaku moderator, menerangkan bahwa saat ini Puslitbang Permukiman tengah berkonsentrasi pada dua hal.

Pertama, tentang ketimpangan antara supply dan demand perumahan bagi masyarakat menengah ke bawah. Pada saat inipenawaran yang ada belum bisa memenuhi tingginya permintaan. Akhirnya, dibuatlah inovasi-inovasi teknologi. Mbak Wawa—demikian sapaan akrabnya, menyebutkan satu contoh: teknologi konstruksi knock down yang disebut RISHA (Rumah Instant Sehat Sederhana)

Hal lain yang menjadi fokus Puslitbang Permukiman adalah Progam Nasional 100-0-100. Artinya, Pemerintah tengah menargetkan 100 persen akses air minum, 0 persen kawasan kumuh, dan 100 persen akses sanitasi yang layak bagi masyarakat di seluruh Indonesia. Diharapkan, program 100-0-100 bisa dipenuhi di tahun 2019 nanti. Mbak Wawa sempat menyinggung, pengurangan subsidi BBM turut andil pada program tersebut.

Dua hal di atas itu yang menjadi topik pembahasan Kompasiana Nangkring bersama dua orang narasumber, yaitu Ibu Prof. (R) DR. Ir. Anita Firmanti, MT., (Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman), dan Bapak Iwan Suprijanto, ST., MT. (Kepala Bidang Program dan Kerjasama).

[caption id="attachment_379257" align="alignnone" width="630" caption="Narasumber Kompasiana Nangkring (dok.pri)"]

14173080411950745845
14173080411950745845
[/caption]

.

Sebuah Harapan seorang Peneliti

Sosok Prof. Anita sungguh mencuri hati saya. Sejak hadir di hadapan kompasianer, senyumnya selalu mengembang. Sesekali ia tampak tertawa lepas. Gaya bicaranya santai, blak-blakan, serta jenaka. Namun, saat menyimak rekannya memberi penjelasan, Prof. Anita berubah serius. Ia menyimak dengan penuh perhatian.  Dan, ia adalah seorang peneliti perempuan yang mengepalai peneliti-peneliti lain di pusat litbang Permukiman. Seorang “Srikandi” dari lingkungan Kemen PU dan Perra— yang tetap enerjik meskipun tak lagi muda.

Prof. Anita memulai perbincangan dengan para kompasianer dengan sebuah harapan besar. Ia berujar, “Apa yang dengan susah payah sudah kami lakukan dapat dibantu oleh para blogger untuk diperkenalkan kepada masyarakat. Dan dengan demikian, maka teknologi-teknologi karya anak-anak bangsa ini benar-benar dapat teraplikasi, termanfaatkan, dan mempercepat pencapaian kita menuju negara yang sejahtera.”

Ketika menyinggung soal royalti, Prof. Anita merasa miris. Hal itu lantaran royalti untuk teknologi hasil kerja keras para peneliti litbang permukiman yang dipakai oleh pihak luar—belum didapatkan. Pada sebuah berita di kompas.com, kemudian saya mengetahui, royalti tersebut sedianya bakal digunakan untuk beasiswa bagi para peneliti yang ingin menempuh studi lanjutan.

Mendadak saya merasa kuatir. Kalau para peneliti kurang mendapat apresiasi dari pemerintah, jangan-jangan nanti bila ada kesempatan, ada di antara mereka memilih mengabdi di negara lain. Pasalnya, banyak negara di dunia (terutama negara-negara maju) yang sangat menghargai hasil karya para peneliti—baik secara materi ataupun non materi.

.

Prime Mover dan Scientific Back Bone

Dengan tegas, Prof. Anita mengatakan bahwa negara yang maju adalah negara yang menguasai teknologi. “Tidak terbantahkan. Mau Amerika, mau Jepang, mau Eropa, mau Australia…di mana-mana.  Kalau satu negara menguasai teknologi pasti dia lebih maju, lebih sejahtera. Jadi, penguasaan teknologi itu sangat penting,” ujarnya bersemangat.

Prof. Anita kemudian melanjutkan. Badan litbang punya dua fungsi, yaitu sebagai  Prime Mover (penggerak mula)  dan Scientific Back Bone.

Sebagai prime mover, seharusnya kegiatan pembangunan—apa pun— dasarnya mesti dari hasil litbang. Prof. Anita mencontohkan fungsi prime mover balitbang di Jepang, yang menurutnya sudah ideal. Pada suatu presentasi tentang ‘bagaimana  upaya melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim’,  balitbang di sana melakukan penelitian mendalam di berbagai hal. Mulai dari cuaca, kekuatan infrastruktur yang terkait dengan air, bagian mana yang harus diberi perkuatan, sampai-sampai keberterimaan masyarakat pun jadi bahan pertimbangan. Semua itu dilakukan dalam satu sistem: Penelitian dulu jalan, baru kemudian dikembangkan.

Tampaknya, badan litbang di Indonesia belum mampu bersanding dengan Jepang. Dengan nada bercanda, Prof. Anita memberikan idiom, “Litbang, tempat kesulitan dan kebimbangan.” Namun, buru-buru ia menambahkan, “Kami tidak mau seperti itu. Harusnya ke depannya nanti, Litbang menjadi: tempat yang elit dan membanggakan.”  Oleh karena itu, menurut Prof. Anita, tantangannya peneliti adalah harus menciptakan sesuatu yang trustable, bisa dipercaya oleh para pelaksana.

Sebagai scientific back bone balitbang bertugas memberikan pertimbangan ilmiah. Seperti yang dituturkan Prof. Anita. Saat ini banyak konstruksi bangunan menggunakan baja ringan, termasuk untuk bangunan sekolah. Suatu ketika, sebuah gedung sekolah ambruk. Menjadi tugas badan litbang-lah untuk meneliti dan menjelaskan mengapa hal itu bisa terjadi. Atau, dulu pernah ada kabar ramai tentang gedung DPR yang miring. Badan litbang kemudian menjadi “wasit” untuk menemtukan apakah memang gedung DPR benar-benar miring. Ternyata, setelah diteliti, gedung para wakil rakyat tersebut masih layak untuk dipakai.

.

Dampak Pengurangan Subsidi BBM terhadap Program 100-0-100

Apa yang sudah dijelaskan secara singkat oleh Mbak Wardah Fajri di awal acara, dipaparkan lebih terang oleh Prof. Anita. Misalnya, pengaruh pengurangan subsidi BBM terhadap Program 100-0-100.

Prof. Anita mengungkapkan. Pada saat ini ada 70% daerah yang diklaim telah terlayani PDAM—baik dengan perpipaan atau tidak. Masih ada 10% kawasan kumuh yang perlu ditangan. Kemudian, sanitasi layak juga masih 62%.

Dengan dana yang ada, pada tahun depan akan tercapai akses air minum meningkat jadi 73%; luasan kawasan kumuh berkurang jadi 9,6%; dan akses sanitasi naik jadi 64%. Akan tetapi, dengan adanya pengalihan subsidi BBM untuk infrastruktur, maka persentasi: akses air minum-luasan kawasan kumuh-akses sanitasi pada 2015 menjadi: 76 - 8 - 70.

Menjawab pertanyaan, mungkinkah program 100-0-100 bisa tercapai di tahun 2019? Apa itu hanya impian? Prof. Anita menjawab penuh keyakinan bahwa hal itu mungkin, asalkan anggarannya ada. Menurutnya, semakin banyak dana bantuan infrastruktur, maka cakupannya menjadi lebih luas. Karena, tidak mungkin membangun fisik tanpa uang.

Penjelasan Prof. Anita membuat saya tercenung. Ketika pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga bensin premium, saya sempat ngedumel. Sebab, saya biasa membeli bensin premium sebagai bahan bakar sepeda motor saya. Nah, rupanya, sebagian uang yang semula digunakan untuk menyubsidi BBM, kini dialihakan untuk membangun akses air bersih, mengurangi kawasan kumuh, dan menambah akses sanitasi di seluruh Indonesia. Mendadak, saya merasa malu hati. Moga-moga program 100-0-100 bisa tercapai di tahun 2019 nanti.

.

Menghargai Invensi Karya Anak Bangsa

Pak Iwan berpendapat bahwa Bangsa yang maju adalah bangsa yang menghargai setiap invensi karya anak bangsanya. Ia menyayangkan, saat ini Indonesia masih terjebak pada impor dari negara lain. Padahal, karya anak bangsa—khususnya di bidang permukiman, tak kalah canggih dari produk-produk luar. Malah lebih cocok dan sesuai untuk kondisi di Indonesia.

Menurut Pak Iwan, teknologi karya para peneliti di Kemen PU dan Perra dibiayai seluruhnya dari APBN; alias dari uang negara; alias dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Karena itu, ia berharap, apa yang telah para peneliti hasilkan, kembali lagi untuk menyejahterakan dan membangun rakyat. Akan tetapi, dibutuhkan kerja sama dengan pihak lain agar produk-produk tersebut bisa dipasarkan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh rakyat.

Dari uraian panjang Prof. Anita tentang berbagai produk litbang, dua di antaranya adalah:

Tenda Huntara (Hunian Sederhana) bagi Korban Bencana Alam

Pada kenyataaan, pada saat ini, setiap terjadi bencana, masyarakat harus tingal di tenda lebih dari satu bulan. Oleh karena itu, diciptakanlah tenda dengan sekat di dalamnya. Jadi, tersedia ruang tidur terpisah untuk anak dan orangtua. Kelebihan lain, ada sirkulasi udara sehingga lebih sejuk 4-5 derajat Celcius dibanding tenda-tenda darurat yang ada sekarang. Selain itu, tenda berlantai dua tersebut juga dilengkapi dengan solar cell untuk lampu darurat. Tenda Huntara telah dimanfaat untuk tempat berteduh sementara bagi para pengungsi korban erupsi Gunung Merapi.

Biofill, Septic Tank Berbahan Fiberglass

Saat ini permukiman di Jakarta semakin padat. Rumah rapat-rapat. Padahal, agar air dari septic tank tidak meresap ke sumur, jarak minimal antara bagian terluar septic tank dengan sumur semestinya 11 meter.

Biofill dibuat untuk menjawab masalah tersebut. Biofill fibuat dari bahan fiberglass. Berukuran 1 meter kubik untuk satu atau dua keluarga dan dapat dikuras 6 tahun sekali. Dengan gamblang, Prof. Anita mengakui. Saat ini baru 5% biofill yang dipasarkan ke masyarakat di toko depo bangunan. Akan tetapi, itu pun baru di Jakarta.

Andai saja lebih banyak masyarakat yang mengetahui biofill, barangkali akan lebih banyak yang memanfatkannya.

Ternyata, menghargai invensi karya anak bangsa sungguh sederhana, yaitu dengan membeli produk yang—telah dengan susah payah—mereka ciptakan. Seperti tagline sebuah iklan: “Cintailah produk-produk Indonesia!” ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun