Salah satu prinsip dari tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) di negara demokratis adalah transparansi. Prinsip ini dapat dimaknai sebagai kemudahan akses informasi tentang kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Publik bisa mengetahui informasi yang benar dan akurat dari pemerintah, tanpa ditutup-tutupi.
Pascareformasi 1998, Indonesia berupaya keras menerapkan praktik good governance. Termasuk juga soal transparansi. Pengesahan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menjadi milestone dari upaya penegakkan prinsip transparan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
UU itu mengamanatkan bahwa semua informasi adalah terbuka selain yang dikecualikan. Hal ini menunjukkan tidak ada lagi celah bagi badan publik untuk tidak atau bahkan menghalang-halangi masyarakat untuk mengetahui semua informasi yang tersedia. Setiap badan publik wajib memiliki Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang melayani permintaan informasi dari warga.
Kehadiran UU KIP terkadang tidak dipahami dengan baik. Bagi sebagian kalangan di pemerintahan, UU tersebut dianggap membuka peluang bagi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) abal-abal yang sekadar mencari kesalahan dan celah untuk memeras. Harus diakui praktek semacam ini masih banyak terjadi.
Seturut perkembangan teknologi, lembaga publik turut beradaptasi. Nyaris tak ada instansi pusat dan daerah yang tidak memiliki laman (website) sendiri. Belakangan, perkembangan new media turut berpengaruh. Richard Hunter (2002) mengatakan dengan istilah world without secrets, bahwa kehadiran media baru (new media/cybermedia) menjadikan informasi sebagai sesuatu yang mudah dicari dan terbuka.
Kehadiran media baru seperti laman portal berita dan media sosial mengubah medium yang dapat dipilih sektor pemerintahan dalam berkomunikasi dengan publik. Dulu, pemerintah sangat bergantung pada media massa tradisional untuk menyebarkan informasi publik (Dixon, 2010). Biaya yang dibutuhkan tidak sedikit. Sesuatu yang boleh jadi kemewahan bagi pemerintah daerah tertentu.
Kini, media sosial menawarkan kesempatan besar bagi semua level pemerintahan. Membuat akun di beragam platform tidak membutuhkan biaya. Â Sifat media sosial yang terbuka dan dialogis menghilangkan banyak hambatan komunikasi yang pernah dialami pemerintah di masa lalu (Bertot & Jaeger, 2010). Komunikasi dengan warga dapat lebih sering, terbuka, dan tepat sasaran (Graham dan Avery, 2013).
Interaksi dalam kajian media merupakan salah satu pembeda antara old media dengan new media. David Holmes (2005) menyatakan bahwa dalam media lama pengguna atau khalayak media merupakan khalayak yang pasif dan cenderung tidak mengetahui satu dengan yang lainnya; sedangkan di media baru pengguna bisa berinteraksi, baik di antara pengguna itu sendiri maupun dengan produser konten media.
Kemudahan yang ditawarkan media sosial membuat instansi berlomba memanfaatkannya. Bayangkan, di lingkungan Pemprov DKI Jakarta saja diperkirakan ada lebih dari 1.000 akun media sosial (mulai dari akun instansi tingkat provinsi, kabupaten/kota administrasi, kecamatan sampai kelurahan). Fenomena serupa juga terjadi di instansi lain, baik di level pusat (kementerian/lembaga) maupun daerah (provinsi dan kabupaten/kota).
Dari banyaknya akun media sosial instansi pemerintahan, saya membaginya ke dalam beberapa tipe. Pertama, akun media sosial yang sekadar ada saja. Hidup segan mati tak mau. Kedua, akun yang selalu update, hampir setiap kegiatan --baik informasinya dibutuhkan atau tidak oleh publik---dipublikasikan. Ketiga, ada juga yang mengelola akun dengan baik. Publikasinya menarik, dan terutama menampilkan informasi yang dibutuhkan publik.
Keberadaan akun medsos tipe pertama dan kedua ini umumnya disebabkan belum utuhnya pemahaman mengenai komunikasi sektor publik. Apalagi jika pemimpinnya gagap dalam urusan teknologi informasi dan komunikasi.
Urusan tambah ruwet manakala sang kepala instansi punya sifat narsistik. Biasanya ditandai dengan keberadaan fotografer yang tidak boleh kehilangan momentum si Bapak atau Ibu. Ciri lain adalah poster ucapan hari besar atau event apapun tapi didominasi wajah sang pimpinan.
Bos macam begini ada yang memang secara sadar punya niat pencitraan alias membangun personal branding. Ada juga yang sekadar ingin terlihat kerja. Seolah-olah dianggap tidak kerja jika tidak terpublikasikan.
Itikad baik memenuhi hak warga akan informasi memang penting. Akan tetapi, jauh lebih penting menjamin pemenuhan kebutuhan warga akan layanan yang prima di bidangnya masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H