Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Jokowi, resmi ditunjuk menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menggantikan Giring Ganesha. Penunjukkan Kaesang dilakukan melalui Kopi Darat Nasional (Kopdarnas), yang digelar di Djakarta Theater, Jakarta Pusat, Senin (25/9/2023) malam.
Kabar ini terbilang mengejutkan. Mengingat pemuda 28 tahun tersebut baru tiga hari menjadi anggota PSI. Bisa dibilang Bro Kaesang belum ngapa-ngapain di PSI. Kok bisa ujug-ujug jadi Ketum?
Saat awal didirikan, PSI mengusung semangat melawan gerontokrasi, yakni politik yang dominasi orang-orang tua secara usia yang mengelola politik dengan cara lama dan usang.Â
Well, dari sisi usia Kaesang memang masih sangat muda. Bahkan lebih muda dari Sis Grace Natalie dan Bro Giring Ganesha, dua Ketum pendahulunya. Namun, dari aspek prosedural pemilihan ketum di partai ini memang agak absurd sepertinya.Â
Saat dicibir warganet di media sosial karena dianggap gagal melakukan kaderisasi, PSI membela diri. Mereka justru menyerang balik partai lain yang mengklaim punya kaderisasi baik tetapi ketua umumnya tidak ganti-ganti.Â
Debat kusir semacam ini bakal panjang kalau diterusin. Lebih baik kita lihat dari sisi yang lebih netral. Sejatinya, lewat mekanisme penentuan ketum, kita bisa melihat bagaimana proses demokrasi internal berjalan di sebuah partai.Â
Bagaimana mungkin kita percaya sebuah partai dapat diandalkan dalam menuju demokratisasi ketika di dalam tubuh mereka sendiri tidak demokratis. Dengan parameter ini, PSI dan partai-partai "senior" masih imbang alias sama saja.
Kita sepakat bahwa partai politik adalah salah satu pilar penting dalam demokrasi. Partai politik adalah alat yang sah digunakan untuk merebut dan/atau mempertahankan kekuasaan.Â
Dalam kaitan dengan hal tersebut, partai memiliki sejumlah fungsi. Miriam Budiardjo menyebut ada empat fungsi parpol: sebagai sarana komunikasi politik, sarana sosialisasi politik, rekrutmen politik, dan pengatur konflik.
Dari fungsi tersebut, rekrutmen politik terbilang strategis. Mengapa?Â