Isu yang terus berulang selepas mudik lebaran adalah soal pendatang ke Jakarta. Kota ini sudah penuh sesak, dengan manusia dan segala macam masalahnya. Wajar kalau perlu ada perhatian khusus terhadap masalah ini. Apakah Jakarta menutup diri dari kaum migran?
Tentu tidak. Selama masih dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain bisa dilakukan dengan mudah. Bahkan di negara federal sekalipun, migrasi penduduk dari satu negara bagian ke negara bagian lain tidak membutuhkan paspor.
Konstitusi kita menjamin warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam konteks mencari penghidupan yang layak itulah pada umumnya para perantau rela meninggalkan daerahnya. Termasuk ke Jakarta, yang selama puluhan tahun menjadi pusat dari segalanya di republik ini.
Jakarta adalah kota di mana mimpi digantungkan. Ingin mengubah nasib, jutaan pendatang rela berjuang di tengah kerasnya ibu kota. Sebagian berhasil mewujudkan impiannya. Bekerja mapan, membina keluarga bahagia, memupuk aset. Sekali dalam setahun pulang ke kampung halaman untuk silaturahmi sekalian flexing.
Sebagian lainnya terpaksa gigit jari. Jangankan untuk hidup nyaman dan layak, buat menyambung hidup dari hari ke hari saja tidak mudah. Tinggal di kolong jembatan, di gerobak, bahkan di emperan toko. Mau menangis pun tak sempat karena harus terus berjuang demi sesuap nasi.
Cerita-cerita seperti itu pasti sudah banyak kita dengar. Herannya tetap saja tiap tahun banyak yang nekat menjajal peruntungan di Jakarta. Buat yang punya bekal pendidikan saja tidak mudah mendapat pekerjaan, apalagi yang datang hanya dengan tenaga dan skill seadanya.
Dengan segala keadaan tersebut, Jakarta tetap dianggap lebih menjanjikan. Kita tau, cuma bermodal peluit saja bisa mendatangkan duit tak sedikit dengan jadi tukang parkir atau pak ogah. Pekerjaan informal semacam ini agak sulit dilakukan di kampungnya sana.
Bagi Pemprov DKI Jakarta, kedatangan kaum migran ini memberikan pekerjaan rumah tersendiri. Para pendatang yang tidak terserap pasar kerja maupun tak mampu bersaing di sektor informal, berpotensi mendatangkan masalah baru seperti kriminalitas.
Jakarta juga akan dihadapkan pada masalah klasik seperti kemiskinan dan tengkes (stunting). Bagaimana mau menurunkan angka kemiskinan dan stunting kalau setiap tahun ketambahan pendatang yang berpotensi menjadi Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS).
Tidak heran kalau sampai Pj Gubernur Heru Budi Hartono mengimbau para pemudik tak membawa serta sanak saudara dan kerabatnya saat balik ke Jakarta pascalebaran. Catat ya, mengimbau bukan melarang.
Imbauan ini tujuannya baik, supaya tidak lantas telantar di ibu kota. Silakan ke Jakarta kalau Anda sudah dapat kepastian diterima bekerja di salah satu perusahaan misalnya. Bisa juga kalau Anda punya keahlian tertentu serta modal, sehingga berpotensi mencari uang di sektor informal. Kalau prasyarat seperti itu nihil, lebih baik pikir-pikir lagi deh ke Jakarta.
Pemprov DKI Jakarta sendiri sudah tidak lagi menggelar operasi yustisi kependudukan. Kebijakan yang diambil hanyalah pendataan bagi para pendatang. Beredar informasi juga kalau Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta akan menonaktifkan warga ber-KTP Jakarta tapi tidak jelas keberadaannya.
Langkah yang diambil Disdukcapil sejatinya hanya pelaksanaan dari aturan hukum yang sudah jelas, yaitu Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Warga yang pindah dalam wilayah Indonesia wajib lapor untuk mendapat Surat Keterangan Pindah, sebagai dasar penerbitan KK dan KTP-el. Saat ini juga Disdukcapil masih tahap sosialisasi. Implementasi penuh kebijakan ini baru dilakukan tahun depan.
Tidak ada yang dirugikan dari semua proses ini. Pendatang di Jakarta, sepanjang memenuhi persyaratan akan sah menjadi penduduk Jakarta, dengan segala kewajiban dan haknya. Sebaliknya, warga yang sudah tidak tinggal di Jakarta, maka tidak sepatutnya masih menerima fasilitas dari APBD DKI Jakarta.
Banyak warga yang memilih tetap ber-KTP Jakarta walaupun tinggalnya sudah tak lagi di Jakarta. Sebagian besar memang masih di sekitar ibu kota, seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Kenapa tidak mau pindah alamat? Karena jadi penduduk ber-KTP Jakarta itu enak. Bisa dapat Kartu Jakarta Pintar (KJP), Kartu Lansia Jakarta, subsidi pangan, dan masih banyak lainnya.
Pembaharuan data oleh Disdukcapil diharapkan akan menghasilkan data kependudukan yang akurat. Ingat, data adalah kunci bagi pengambilan kebijakan dan penggunaan anggaran yang tepat sasaran. Jadi, jangan buru-buru menyalahkan Pemprov DKI Jakarta ya. Pahami dulu duduk persoalannya. Jakarta tidak sedang menutup diri. Jakarta tetap akan menjadi kota yang ramah dan terbuka untuk semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H