Selalu ada hikmah dari setiap peristiwa. Begitu juga dengan pandemi yang sudah kita lalui dua tahun lebih.
Merujuk rilis resmi pemerintah, Covid-19 masuk Indonesia pada 2 Maret 2020. Banyak juga yang meyakini sebetulnya kasus Covid-19 sudah ada sebelum itu namun tidak teridentifikasi.
Menjelang akhir tahun 2020, gelombang peningkatan kasus mulai terjadi. Gelombang kedua terjadi lebih parah pada pertengahan tahun 2021. Jumlah kasus aktif saat itu bahkan mencapai 253 ribu lebih.
Diakui atau tidak, Indonesia tidak siap menghadapi pandemi. Saat negara lain bisa menerapkan kebijakan lockdown dengan ketat, Indonesia kesulitan. Bukan rahasia lagi kalau pemerintah sangat mempertimbangkan aspek ekonomi ketika harus mengambil kebijakan yang terkait kesehatan.
Sudah mengambil langkah seperti itu saja, situasi ekonomi kita sempat cukup terpuruk. Bagaimana tidak, hampir semua sektor harus melakukan penyesuaian. Tidak semua bisa beradaptasi dengan pola bekerja dari rumah.
Mal, tempat hiburan, rumah makan dan banyak lagi yang harus tutup saat itu. Gelombang Covid-19 disusul dengan tsunami pengangguran, lantaran banyak perusahaan yang merumahkan karyawannya.
Berdasarkan data BPS, tak kurang dari 21 juta penduduk usia kerja terdampak pandemi. Bentuknya beragam. Ada yang mengalami pemutusan hubungan kerja, dirumahkan tanpa upah, dikurangi jam kerja dan upah serta beragam lainnya. Belum lagi para pekerja sektor informal yang juga kepayahan akibat ekonomi yang melambat.
Dinda, seorang make up artist sekaligus pemilik sanggar busana pengantin, mengaku sangat kerepotan. Puluhan klien yang sudah menentukan tanggal resepsi sejak pertengahan 2020, satu per satu membatalkan acaranya. Dinda pun harus mengembalikan uang panjar yang sudah dibayar. Padahal, sebagian uang tersebut sudah ia belanjakan untuk menambah barang modal.
"Ibarat jatuh tertimpa tangga," ujarnya. Tapi Dinda tak sendiri. Ada banyak pekerja di bidang event dan wedding organizer yang kehilangan sumber pendapatan. "Kami saling menguatkan dan membantu sebisanya," lanjut ibu dua orang anak ini.
Ia harus memutar otak. Dapur harus tetap mengepul dan hidup harus berjalan. Alih-alih menemukan solusi, ia harus dihadapkan pada persoalan lain. Anaknya harus bersekolah dari rumah. Tentu membutuhkan biaya tambahan untuk akses internet.