Mohon tunggu...
Shendy Adam
Shendy Adam Mohon Tunggu... Dosen - ASN Pemprov DKI Jakarta

seorang pelayan publik di ibu kota yang akan selalu Berpikir, Bersikap, Bersuara MERDEKA

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Awas Rusak Akidahmu Gegara Covid

25 November 2021   21:21 Diperbarui: 25 November 2021   21:25 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh cottonbro dari Pexels 

Hampir dua tahun kita hidup dalam suasana pandemi. Situasi mulai mereda, tapi wabah belum sepenuhnya sirna. Ada banyak hal yang bisa kita renungkan dan jadi pelajaran.

Sampai tulisan ini dibuat, di Indonesia tercatat ada 4.254.815 kasus terkonfirmasi Covid-19. Dari jumlah itu, 96,4% atau lebih dari 4,1 juta jiwa dinyatakan sembuh. Saya termasuk salah satu dari statistik penyintas itu.

Penyakit yang disebabkan virus Sars-Cov2 ini memang bisa dibilang aneh. Variasinya demikian tinggi. Pada sebagian orang terpapar, efeknya sangat berat, bahkan tidak sedikit yang berujung pada kematian. Namun, ada juga yang hanya bergejala ringan atau malah tidak bergejala.

Sejak awal diumumkan di Indonesia, respon orang pun beragam. Ada yang khawatir dan ketakutan. Tidak sedikit yang santai dan biasa saja, atau malah menuding hoak. Berbagai teori konspirasi juga kerap dilemparkan.

Saya termasuk orang yang sangat hati-hati dengan ancaman virus ini. Maklum, di rumah ada tiga orang anak-anak yang harus saya pastikan keselamatan dan keamanannya. Saya satu-satunya orang yang masih harus keluar rumah (saat jadwal Work from Office) tentu tak ingin pulang membawa virus.

Protokol kesehatan saya terapkan dengan ketat. Setiap pulang kantor, langsung mandi dan memisahkan baju kotor. 

Sempat agak khawatir ketika harus mondar-mandir ke rumah sakit lantaran ibu saya terpapar lebih dulu virus ini di awal tahun 2021. Alhamdulillah saat itu masih aman. Ibu saya juga sudah sehat, meski saat itu cukup lama mengalami efek long covid.

Begitu ada kesempatan untuk vaksinasi gelombang kedua untuk pekerja di sektor publik, saya segera ambil bagian. Dua dosis Sinovac saya terima lengkap. Ikhtiar sudah digenapkan.

Tapi, qadarullah saya akhirnya harus merasakan juga dihinggapi virus ini sekitar akhir Juni kemarin. Tidak tanggung-tanggung, kami jadi klaster keluarga (di rumah mertua dan rumah saya).

Bapak mertua yang pertama kali dikonfirmasi Covid-19. Menyusul hasil tersebut, saya, istri dan anak-anak langsung tes antigen. Hasilnya masih negatif. 

Begitu juga dengan ibu mertua dan adik ipar di rumahnya. Beberapa hari kemudian, satu per satu mulai muncul gejala dan pada tes berikutnya tak satupun dari kami negatif. Kami pun harus isolasi mandiri.

Bapak mertua yang memiliki komorbid sejak awal sudah dirawat di rumah sakit. Menyusul kemudian ibu mertua saya, yang malah kemudian lebih parah kondisinya. Ibu sempat masuk ICU dan dipasang ventilator. 

Terus terang kami sudah harap-harap cemas di rumah. Setiap hari saat waktunya video call dibantu perawat, kami hanya bisa melihat ibu tidak sadarkan diri dengan berbagai alat bantu.

Sekali lagi, semua qada dan qadar sudah ditetapkan Allah. Ibu mertua saya bisa sadar lagi dan berangsur membaik kondisinya hingga akhirnya bisa kembali berada di tengah-tengah kami.

Saya sendiri selama positif Covid-19, relatif ringan gejalanya. Begitu juga dengan istri dan anak-anak. Selesai isolasi mandiri 14 hari saya sudah bisa kembali bekerja seperti biasa.

Dari pengalaman ini, saya semakin tersadarkan bahwa ajal itu di tangan Tuhan. Tidaklah mati orang karena Covid, melainkan memang sudah habis waktunya di dunia ini. Sebaliknya, orang bisa mati kapan dan di mana saja walaupun tidak terpapar Covid. 

Jadi, kita harus menyikapi pandemi ini dengan tepat. Kita jelas tidak boleh abai. Kita tidak pernah tau apabila kita yang terpapar akan seperti apa efek yang kita alami. 

Kalau cuma bergejala ringan atau tanpa gejala sih syukur, lah kalau kita mengalami gejala berat bagaimana? Maka dari itu, tetap menerapkan prokes dan segera melengkapi vaksinasi adalah ikhtiar maksimal kita dalam mengurangi risiko.

Di sisi lain, tak perlu juga terlalu khawatir berlebihan apalagi sampai paranoid. Kematian manusia sudah ditentukan waktu, tempat dan sebabnya.

Tercatat di lauhul mahfudz sana. Sebagai muslim, itu aqidah yang harus kita yakini. Jangan sampai itu rusak cuma karena virus yang sejatinya juga ciptaan Allah, sama seperti kita. 

Wallahu alam bishawab,
Joglo, 25 November 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun