Hari ini, tepat 9 Februari 2021 kita memeringati Hari Pers Nasional (HPN). Sebuah perayaan bagi insan pers di Indonesia. Tahun ini, HPN diperingati dengan tema "Bangkit dari Pandemi, Jakarta Gerbang Pemulihan Ekonomi, Pers sebagai Akselerator Perubahan".
Pers memiliki peran penting dalam sejarah perjuangan negara dan bangsa, baik dalam masa prakemerdekaan maupun dalam mengisi kemerdekaan.
Kita juga sering mendengar pers diasosiasikan sebagai pilar keempat demokrasi. Di masa rezim otoritarian orde baru, kebebasan pers jauh dari kenyataan. Namun, pascareformasi 1998 pers mulai kembali diperhitungkan.
Bahkan ada yang bilang kebablasan karena perusahaan media baru muncul bak cendawan di musim hujan. Sebagian memiliki prinsip dan idealisme yang baik, tapi tak sedikit juga yang justru menjadi benalu dalam upaya negeri ini mereformasi sektor publik.
Sayangnya, dewasa ini media massa menghadapi tantangan berat yang tidak pernah dialami sebelumnya. Disrupsi yang diakibatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi turut menghantam industri media, jika tak ingin dibilang sebagai salah satu yang paling terdampak. Satu per satu media gulung tikar. Terutama media cetak. Ongkos produksi cenderung konstan atau malah naik, sementara pendapatan menurun.
Porsi 'kue' iklan semakin berkurang karena pesaing semakin banyak, bukan hanya sesama media cetak tapi juga media daring berbasis internet.
Di awal tahun ini, Koran Tempo jadi 'korban' terakhir yang harus berhenti cetak, meski masih eksis di kanal digital. Media daring pun saat ini tidak sepenuhnya bisa merasa aman. Perkembangan ICT demikian pesat.
Saat ini semua orang bisa membuat konten. Berbagai platform open source juga bisa dimanfaatkan para content creator ini. Blogger bisa memanfaatkan laman seperti wordpress, blogspot atau model social blogging seperti Kompasiana.
Sementara vlogger atau pembuat konten video bisa dengan mudah membagikan kreasinya melalui Youtube.
Posisi tawar blogger dan vlogger pun kini semakin kuat. Berita viral soal respon Eiger atas review dari salah satu penggunanya bisa member kita gambaran.
Jangan pandang remeh para content creator. Pembaca atau pemirsa dewasa ini memang lebih suka dengan pandangan dari sesamanya, karena dianggap lebih independen dan merepresentasikan warga sebagai sesama pengguna produk atau layanan.