Saya sendiri pernah kecele. Beli "batik" di kota batik Pekalongan, ternyata yang didapat bukan batik melainkan tekstil bermotif batik. Bingung ya? Jadi baju yang saya beli itu ternyata adalah tekstil bermotif batik. Biasanya diproduksi dengan teknik printing secara massal.
Harga tekstil bermotif batik sudah barang tentu lebih murah. Karena diproduksi massal, skala ekonominya membuat bahan baku dan kebutuhan lain lebih efisien. Sialnya lagi, tekstil bermotif batik ini banyak yang bukan produksi dalam negeri alias impor dari Tiongkok (yang terkenal sangat jago dalam mengefisienkan produksi massal).
Walhasil, kendati dewasa ini kita lebih mudah menjumpai orang berbaju batik, sebetulnya itu belum tentu benar-benar batik. Saya sendiri sekarang lebih teliti sebelum membeli. Kalau membeli kemeja, biasanya saya balik dulu, dilihat bagian dalamnya. Terlihat beda antara hasil cetak mesin (printing) dengan batik cap atau tulis.
Semoga pemahaman yang sama juga dimiliki teman-teman. Jadi kita tidak sekadar melestarikan motif-motif dan corak batik, tapi ekosistem bisnis batik yang sebenarnya. Kasihan para perajin batik yang semakin kesulitan melawan serbuan tekstil dari Tiongkok.
Selamat Hari Batik Nasional, Kompasianer!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H