Dalam wawancaranya dengan Forbes, Anies menyebut Jakarta masih berkutat di level 2.0. Alih-alih mengajak warga menjaga kebersihan dan keindahan kota, Pemprov DKI Jakarta justru menyiapkan pasukan oranye dalam jumlah besar.
Di level City 3.0, Â pemerintah menempatkan diri sebagai fasilitator dan warga menjadi partisipan. Sedangkan pada City 4.0, hubungan yang terbangun antara pemerintah dan warga lebih bersifat kolaboratif. Pemerintah menyediakan platform dan warga menjadi co-creator. Jika pada partisipasi inisiatornya masih pemerintah, maka pada kolaborasi siapapun bisa menjadi inisiator.
Ide Jakarta City 4.0 menunjukkan adanya paradigm shift yang coba dilakukan Anies. Ia menginginkan agar aparat Pemprov DKI Jakarta melihat warga sebagai subjek yang berdaulat dan bukan sebagai obyek yang dikendalikan.
Ketika pemerintah mendorong konsultasi dan keterlibatan publik, mereka akan mendapatkan ide-ide baru serta masukan dari warga negara mengenai kebijakan dan layanan. Dalam praktiknya, penerapan konsep ini berpotensi menghasilkan kebijakan yang seolah tambal sulam karena tidak bersifat final dan selalu terbuka untuk didiskusikan.
Mimpi Anies mewujudkan Jakarta 4.0 tidak akan mudah dilalui. Setidaknya ada dua hambatan yang bisa mengganjal. Pertama, ada gap pola pikir pada birokrasi. Jangankan soal kolaborasi, sebagian birokrat bahkan belum begitu memahami ide partisipasi secara utuh. Partisipasi selama ini hanya sekadar jargon. Mobilisasi lebih kental ketimbang partisipasi yang genuine.Â
Birokrat tidak terbiasa terlibat interaksi dan kolaborasi dengan sektor lain seperti Non Government Organization (NGO) alias Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sehingga ide partisipasi terasa jauh di awang-awang. Ditambah lagi dengan pengalaman buruk di masa lalu dengan LSM abal-abal yang memengaruhi cara pandang birokrat terhadap civil society.
Hambatan kedua datang dari warga kota sendiri. Masih banyak warga yang apatis dengan pemerintahan dan kebijakan publik. Newman dan Clarke (2009) mengakui bahwa gagasan mengenai partisipasi publik berkembang di saat terjadi perubahan karakter dari publik itu sendiri. Publik saat ini lebih terdiferensiasi, individualistis, berorientasi pada konsumsi, dan kurang percaya dengan politisi dan proses politik.
Situasi menjadi lebih sulit karena polarisasi warga Jakarta pascapilkada 2017 yang tak berkesudahan. Meski begitu, bukan berarti tidak ada harapan. Masih ada waktu empat tahun bagi gubernur untuk menyelesaikan tugas serta mencapai targetnya.Â
Gerakan perubahan mungkin perlu didorong lebih kencang lagi, dimulai dari lingkungan birokrasi di Balai Kota. Pada gilirannya nanti warga akan menyadari bahwa ide kolaborasi yang ditawarkan Pak Anies sejatinya adalah memang hak warga atas kota.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H