Pedestrian alias pejalan kaki seringkali mendapat perlakuan tidak adil. Mereka ibarat anak tiri yang selalu harus mengalah. Kebijakan Anies Baswedan mengganti Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) dengan pelican crossing patut disyukuri sebagai satu langkah maju.
Jalur pedestrian alias trotoar yang buruk adalah kelaziman di berbagai kota di negeri ini. Bukan hanya sempit dan tidak mulus, malah ada yang berkontur turun naik, tidak rata bahkan berlubang. Belum lagi ulah pengendara sepeda motor yang otaknya ditinggal di rumah, seenaknya mereka melintasi trotoar.
Okupasi terhadap hak pejalan kaki juga dilakukan oleh para pedagang kaki lima. Barang jualannya macam-macam. Mulai dari minuman ringan, makanan berat, kacang, kuaci, permen (disingkat cangcimen) sampai perkakas seperti obeng dan tang juga kerap dijajakan di trotoar.
Aksi yang dilakukan Koalisi Pejalan Kaki justru suka ditanggapi nyinyir. Tidak jarang juga ada perlawanan terang-terangan. Padahal, mereka menyuarakan kebenaran.
Pikiran nakal saya mengantarkan pada kesimpulan bahwa boleh jadi pejalan kaki memang dianggap warga negara kelas dua. Hak mereka pantas dikesampingkan manakala berhadapan dengan pengguna kendaraan.
Oleh karena itu, saya menyambut gembira keputusan gubernur Anies Baswedan yang membongkar Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) di Jalan Thamrin dan menggantinya dengan pelican crossing. Lho, apa hubungannya pembongkaran JPO dengan hak pejalan kaki?
Bukan bermaksud mengesampingkan aspek estetika, saya justru lebih menyoroti kebijakan tersebut dari sisi kenyamanan bagi pejalan kaki.
Fasilitas penyeberangan secara garis besar terbagi ke dalam 2 kategori, yakni sebidang dan tidak sebidang. Zebra cross dan pelican crossing adalah contoh yang sebidang, sedangkan JPO dan terowongan bawah tanah termasuk fasilitas penyeberangan tidak sebidang.
Masing-masing pilihan ada plus minusnya. Dalam memilih memang ada kaidahnya, kalau tidak salah ada panduan yang pernah dikeluarkan Departemen Pekerjaan Umum dulu (sekarang Kemenpupera). Saya tidak akan membahas detail teknis soal fasilitas penyeberangan ini, silakan saja jika ada rekan Kompasianer yang ingin mengulasnya.
Dengan pelican crossing, pejalan kaki tidak perlu bersusah payah lagi. Saudara-saudara kita yang lanjut usia dan difabel jauh lebih mudah untuk menyeberang.
Pelican crossing tentu saja akan "mengganggu" kenyamanan pengendara kendaraan bermotor. Dari yang tadinya bisa bablas, jadi harus berhenti manakala lampu lalu lintas menyala untuk memberi kesempatan penyeberang jalan.
Keberpihakan terhadap pejalan kaki tidak cukup hanya dengan membongkar satu JPO. Penyediaan prasarana dan sarana transportasi publik menjadi rangkaian kebijakan yang tidak bisa terpisahkan. Pada akhirnya, Jakartans akan merasa lebih nyaman menggunakan kendaraan umum alih-alih bawa mobil pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H