Akun media sosial MRT Jakarta menjadi bulan-bulanan warganet setelah mengunggah foto tampilan kursi moda transportasi baru di ibu kota tersebut. Komentar nyinyir dan pedas datang bertubi-tubi.Â
Tak sedikit yang membandingkan kursi MRT dengan milik Metromini. Begitulah karakter pengguna media sosial di Indonesia, cenderung sadis dalam mengomentari apapun.
Jika dilihat sekilas, kursi MRT memang mirip dengan Metromini. Sama-sama terbuat dari bahan fiber/plastik. Sangat berbeda dengan kursi kereta rel listrik commuter line yang dibalut busa tebal. Sontak saja MRT dirisak ramai-ramai.
Manajemen MRT relatif bijak dalam menanggapi serbuan komentar negatif. "Saya nggak mau masuk ke polemik itu, bahan kami fiber. Mau sama-sama Metro Mini, nggak ada alasan, mau bahannya sama ya sama. Tapi kan pendekatan kita ke pemeliharaan lebih mudah dan murah," kata Corporate Secretary PT MRT Tubagus Hikmatullah, seperti dilansir detik.com.
Sebetulnya, seperti apa kursi yang pantas untuk MRT? Jika moda transportasi sejenis di negara lain yang jadi rujukan, tak berbeda dengan kursi MRT Jakarta. Bahan kursi dari plastik/fiber menjanjikan ketahanan dan kemudahan perawatan. Kalau begitu berarti ekspektasi netizen saja yang ketinggian karena menganggap MRT adalah moda transportasi yang canggih lagi mewah.
Jarak rute MRT dari Lebak Bulu sampai Bundaran HI hanya sekitar 16 kilometer. Waktu tempuhnya pun cuma setengah jam. Sedangkan kereta commuter line, rute terjauhnya bisa mencapai (atau bahkan lebih) 60 kilometer. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya duduk di kursi keras dalam waktu lebih dari satu jam.
Alasan efisiensi yang disampaikan manajemen MRT juga cukup logis. Biaya operasional MRT sendiri cukup tinggi, sehingga pengeluaran yang tidak terlalu penting sebaiknya dapat ditekan. Ini akan berdampak pada penghitungan tarif dan subsidi yang diberikan pemerintah (dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta).
Direktur Utama PT MRT Jakarta William Sabandar memperkirakan tarif ideal bagi penumpang Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta berkisar Rp 8.000 hingga Rp 10.000 per penumpang. Angka tersebut jauh di bawah tarif komersial tanpa subsidi yang diperoleh dari kajian konsultan yang berkisar Rp 17.000-20.000 per penumpang. Angka tarif komersial itu diperoleh dengan memperkirakan jumlah rata-rata penumpang harian sebanyak 175 ribu orang per hari.
Untuk memudahkan penghitungan, katakanlah tarif MRT Jakarta yang ditetapkan adalah Rp 10.000 dari biaya operasional per penumpang sebesar Rp 20.000. Berarti, Pemprov DKI Jakarta harus memberikan subsidi tarif (public service obligation) ke PT. MRT Jakarta tak kurang dari Rp 1,75 miliar per hari atau Rp 638,75 miliar per tahun.
Soal tarif ini pasti akan mengundang perdebatan lanjutan. Jika dipatok terlalu tinggi, bukan tak mungkin akan dikaitkan lagi dengan fasilitas yang disediakan seperti kursi berbahan fiber. Padahal yang ribut berkomentar itu belum tentu (calon) pengguna MRT. So, maju terus MRT Jakarta. Apresiasi setinggi-tingginya untuk kerja keras dalam menyiapkan moda transportasi baru yang bisa menjadi pilihan warga Jakarta dan para komuter.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H