Bagaimana cara menilai satu kelurahan atau kecamatan dikatakan baik? Pemprov DKI Jakarta sudah hampir dua tahun menerapkan satu metode inovatif untuk melakukannya.
Sekilas bisa dilihat betapa hierarki birokrasi ini terlalu panjang. Sebagai perangkat daerah, permasalahan kelurahan dan kecamatan yang kerap mengemuka adalah bahwa kedua organisasi ini bekerja dengan fungsi minimal (Safitri et al., 2010). Kajian tersebut menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh kecamatan dan kelurahan hanyalah tugastugas rutin administratif yang selama ini dijalankan.
Temuan riset Safitri dkk. tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Jakarta, yakni tumpang tindih (overlapping) dan ketidakjelasan pembagian tugas antara kecamatan dan kelurahan. Meskipun kecamatan dan kelurahan sudah mendapatkan kewenangan atributif yang cukup luas --melekat di tugas dan fungsi dalam organisasi tata kerja---dalam prakteknya di lapangan aturan tersebut belum operasional.Â
Lurah di Jakarta diharapkan bisa menjadi estate manager yang bisa mengelola kawasannya dengan baik, sementara untuk camat justru kurang jelas perannya. Turunan masalah di atas adalah sulitnya mengukur kinerja kecamatan dan kelurahan. Belum ada alat (tools) untuk melakukan pengukuran secara obyektif menyulitkan untuk mengetahui seberapa efektif dan efisien kinerja dari satu kecamatan atau kelurahan.
Dengan kondisi seperti itu, maka disusunlah sebuah metode baru penilaian kinerja camat lurah berbasis scorecard yang berjalan dalam sebuah sistem aplikasi daring di laman kinerja.jakarta.go.id. Penilaian kinerja ini disusun terinspirasi dari metode balance scorecard, yang sudah biasa digunakan di korporasi.
Meski biasa digunakan istilah scorecard, namun pengukuran kinerja kecamatan dan kelurahan tidak sama persis dengan konsep balance scorecard yang biasa digunakan di sektor swasta. Prinsip pengukuran menggunakan skor dan keseimbangan antara perencanaan dan pelaksanaan yang diduplikasi dalam penilaian kinerja camat dan lurah.
Pada dasarnya Penilaian Kinerja Camat dan Lurah berbasis scorecard ditujukan untuk menilai kinerja melalui penyelesaian masalah pada sejumlah indikator berdasarkan target yang sudah ditetapkan sendiri dalam perencanaan. Secara skematis bisa dilihat pada gambar di bawah ini :
Nilai yang tercantum di aplikasi kinerja jakarta adalah hasil akhir penilaian dari semua tahapan. Oh iya, laman ini terbuka sehingga publik bisa mengakses dan melihat sendiri bagaimana performa pejabat di wilayahnya.
Apakah camat dan lurah benar-benar melaksanakan pekerjaan yang mereka rencanakan dan laporkan ke dalam sistem? Bagaimana mekanisme kontrolnya?
Lurah memang diharuskan mengunggah foto dari setiap pekerjaan yang sudah diselesaikan. Akan tetapi, ada juga monitoring dengan cara inspeksi ke lapangan secara random oleh tingkat provinsi.
What's Next?
Harus diakui penilaian dengan pola scorecard ini masih jauh dari sempurna. Namun, jelas bahwa terobosan ini setidaknya bisa menjadi solusi atas dua hal yaitu pembagian ruang lingkup tugas antara kecamatan dan kelurahan serta menjadi alat ukur kinerja yang cukup obyektif.
Di masa lampau, penilaian kinerja camat dan lurah lebih menonjolkan nuansa perlombaan yang insidental dan seremonial. Sedangkan dengan scorecard, performa camat dan lurah bisa dilihat untuk satu periode waktu yang lebih panjang dan riil berdasarkan hasil kerja di lapangan.
Menarik untuk disimak apa pengembangan selanjutnya dari sistem penilaian kinerja camat dan lurah. Hal ini penting karena pemerintahan wilayah, khususnya kelurahan adalah ujung tombak Pemprov DKI Jakarta. Eskalasi masalah di level provinsi bisa dihindari apabila kelurahan bisa bekerja optimal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H