Mohon tunggu...
Shendy Adam
Shendy Adam Mohon Tunggu... Dosen - ASN Pemprov DKI Jakarta

seorang pelayan publik di ibu kota yang akan selalu Berpikir, Bersikap, Bersuara MERDEKA

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

CRM, Aplikasi Birokrat Ibu Kota "Zaman Now"

5 Desember 2017   15:34 Diperbarui: 5 Desember 2017   22:37 6306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Dokumentasi UP JSC

Warga Jakarta, terutama dari generasi milenial mungkin sudah sangat familiar dengan Qlue. Lain halnya dengan Citizen Relation Management (CRM) yang jarang diekspos. Padahal keduanya saling berhubungan. Pingin tahu, apa itu CRM? Yuk, kita intip.

Sumber foto: Dokumentasi UP JSC
Sumber foto: Dokumentasi UP JSC

sumber foto : dokumentasi UP JSC
sumber foto : dokumentasi UP JSC
Seturut perkembangan teknologi informasi yang demikian pesat, pola hidup masyarakat juga berubah. Berbagai aplikasi hadir dalam genggaman melalui gawai. Jika dulu telepon seluler hanya bisa digunakan untuk menelepon atau bertukar pesan, sekarang kita bisa melakukan lebih banyak hal. Mulai dari transaksi perbankan (m-banking), pesan tiket pesawat dan hotel (contoh: Traveloka, Pegi-Pegi, Agoda, dll), belanja daring (Bukalapak, Tokopedia, Blibli, dll), transportasi (Go-Jek, Grab, Uber) sampai sekadar berjejaring sosial (Facebook, Twitter, dll).

Fenomena ini tak lepas dari semakin mudah dan murahnya akses internet. Data APJII (2016) menunjukkan penetrasi internet di Indonesia sudah mencapai 132,7 juta atau 51,7% dari total populasi 256,2 juta orang. Kombinasi dari kedua hal tersebut telah membentuk always on society.

Pada gilirannya, era digital juga turut memengaruhi hubungan antara pemerintah dengan warganya. Pemerintah dituntut untuk bisa mengikuti perkembangan zaman. Pemanfaatan teknologi informasi untuk mobile government menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Secara umum, m-government didefinisikan sebagai penggunaan teknologi komunikasi bergerak nirkabel, perangkat seperti Personal Digital Assistant (PDA), ponsel pintar (smartphone), dan aplikasi mobile (mobile apps) dalam aktivitas pemerintahan (Kushchu & Kuscu 2003; Ostberg 2003 in El-Kiki et al. 2005; Song 2005).

Pemprov DKI Jakarta tak mau ketinggalan dalam pemanfaatan TIK dalam pemerintahan, salah satunya adalah untuk komunikasi interaktif dengan warga. Meski sudah memiliki cukup banyak kanal aspirasi warga (antara lain SMS, email, Facebook dan Twitter), Pemprov DKI Jakarta tetap terbuka terhadap berbagai inovasi baik dari dalam maupun dari pihak luar.

Kesempatan tersebut disambut oleh sebuah developer lokal yang mengembangkan aplikasi Qlue. Mobile apps ini dirancang khusus sebagai media pelaporan warga terhadap berbagai permasalahan di kota. Pemprov DKI Jakarta menjadi daerah pertama yang menggunakan aplikasi Qlue. Wajar kalau Qlue jadi begitu identik dengan Pemprov DKI Jakarta, walaupun sebetulnya ini adalah aplikasi yang dibuat swasta dan bisa saja digunakan oleh daerah lain.

Tidak lama setelah kerja sama dengan Qlue, Unit Pengelola Jakarta Smart City (JSC) mulai mengembangkan aplikasi Cepat Respon Opini Publik (CROP). Jika user Qlue adalah warga yang melaporkan permasalahan, maka CROP digunakan oleh aparat Pemprov DKI Jakarta untuk menindaklanjuti laporan tersebut. Dua aplikasi ini saling terhubung satu sama lain, meski kadang integrasi yang berjalan kurang mulus.

Berdasarkan evaluasi terhadap kelemahan CROP, JSC kemudian membangun lagi aplikasi baru yang dinamai Citizen Relation Management (CRM). Berbeda dengan CROP yang hanya digunakan untuk tindak lanjut laporan dari Qlue, CRM mengintegrasikan semua kanal aspirasi yang digunakan Pemprov DKI Jakarta. Bahkan, belakangan ketika Gubernur Anies Baswedan menginstruksikan agar kecamatan membuka pelayanan pengaduan (manual) setiap hari Sabtu, laporan tersebut akan diinput oleh petugas sehingga tetap terintegrasi ke CRM.

Adaptasi Birokrasi terhadap Teknologi

Mobile apps untuk pelayanan publik perkotaan merupakan salah satu indikator dari sebuah evolusi yang sedang berlangsung yaitu "ubiquitous government" (Belanger, Carter, Schaupp, 2005) atau "smart government". Pemerintahan cerdas akan membagikan sumber daya dan informasi kepada warga negara, lembaga swadaya masyarakat maupun pihak swasta dan begitupun sebaliknya (Scholl, 2012).

Pemerintah yang cerdas (smart governance) tidak semata yang menerapkan teknologi baru dalam pengelolaan kota. Dibutuhkan respons yang lebih progresif dari pemerintah untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di era digital. Struktur birokrasi mesti diperbaiki untuk mengakomodasi teknologi baru dan pemanfaatannya (Goldsmith dan Crawford, 2014).

Dengan semangat kota cerdas itu, evolusi dari CROP menjadi CRM juga mengakomodasi beberapa perubahan terkait pola kerja birokrasi dalam menindaklanjuti laporan. Salah satunya adalah dengan mengubah fitur koordinasi dari sebelumnya kelurahan ke suku dinas (tingkat kota/kabupaten administrasi) menjadi langsung ke dinas (tingkat Provinsi). Pertimbangannya adalah suku dinas akan lebih patuh ketika mendapatkan perintah dari dinas, ketimbang menerima koordinasi dari kelurahan.

Perubahan ini tidak mudah diterima. Saat proses penyusunan dasar hukum penggunaan aplikasi CRM, ide agar lurah bisa meneruskan laporan ke SKPD banyak ditentang karena dianggap tidak sesuai dengan jenjang hierarki birokrasi. Gagasan ini akhirnya diterima setelah dipahami bersama bahwa logika yang digunakan adalah fungsional (lurah sebagai admin) ketimbang struktural (lurah sebagai eselon 4).

Perubahan ini mau tidak mau akan memaksa SKPD (dinas/badan) akan lebih aware terhadap CRM dan berbagai masalah yang dilaporkan di dalamnya. Dulu saat masih menggunakan CROP, sorotan ada pada kelurahan yang notabene kewenangan dan sumber dayanya sangat terbatas.

Sejauh mana CRM sangkil dan mangkus digunakan, waktu yang akan menjawabnya. Akan tetapi, Pemprov DKI Jakarta sudah menginisiasi sebuah metode baru dalam memastikan semua laporan dan pengaduan warga dapat termonitor dengan baik. Hal ini menjadi penting untuk menjaga citizen engagement. Jangan sampai warga yang sudah peduli dengan melaporkan permasalahan justru jadi kecewa karena merasa dicuekin.

Hasil riset saya (2016) menunjukkan bahwa pemanfaatan teknologi telah mengubah pola interaksi dalam komunikasi pemerintahan yang tadinya searah menjadi dua arah atau interaktif. Temuan ini sekaligus menjadi antitesis dari pendapat Pasquier (2012) yang mengatakan bahwa fungsi inti dari komunikasi pemerintahan adalah untuk penyampaian informasi dan kebijakan publik dari pemerintah kepada warga, sementara orientasi pada warga dan menunjukkan respons hanya dianggap sebagai fungsi tambahan.

Kalau zaman "kuda gigit besi", amtenar alias pegawai negeri menempati tempat terhormat dalam struktur sosial masyarakat. Sekarang zaman sudah berubah. Birokrat "zaman now" harus benar-benar sadar bahwa mereka adalah pelayan masyarakat. Kepuasan warga menjadi orientasi utama. Dengan kesadaran itu, CRM akan menjadi aplikasi yang sangat bermanfaat dalam memastikan pelayanan terbaik untuk warga.

Artikel ini juga dimuat di blog pribadi Bang Adam Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun