Warga Jakarta, terutama dari generasi milenial mungkin sudah sangat familiar dengan Qlue. Lain halnya dengan Citizen Relation Management (CRM) yang jarang diekspos. Padahal keduanya saling berhubungan. Pingin tahu, apa itu CRM? Yuk, kita intip.
Fenomena ini tak lepas dari semakin mudah dan murahnya akses internet. Data APJII (2016) menunjukkan penetrasi internet di Indonesia sudah mencapai 132,7 juta atau 51,7% dari total populasi 256,2 juta orang. Kombinasi dari kedua hal tersebut telah membentuk always on society.
Pada gilirannya, era digital juga turut memengaruhi hubungan antara pemerintah dengan warganya. Pemerintah dituntut untuk bisa mengikuti perkembangan zaman. Pemanfaatan teknologi informasi untuk mobile government menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Secara umum, m-government didefinisikan sebagai penggunaan teknologi komunikasi bergerak nirkabel, perangkat seperti Personal Digital Assistant (PDA), ponsel pintar (smartphone), dan aplikasi mobile (mobile apps) dalam aktivitas pemerintahan (Kushchu & Kuscu 2003; Ostberg 2003 in El-Kiki et al. 2005; Song 2005).
Pemprov DKI Jakarta tak mau ketinggalan dalam pemanfaatan TIK dalam pemerintahan, salah satunya adalah untuk komunikasi interaktif dengan warga. Meski sudah memiliki cukup banyak kanal aspirasi warga (antara lain SMS, email, Facebook dan Twitter), Pemprov DKI Jakarta tetap terbuka terhadap berbagai inovasi baik dari dalam maupun dari pihak luar.
Kesempatan tersebut disambut oleh sebuah developer lokal yang mengembangkan aplikasi Qlue. Mobile apps ini dirancang khusus sebagai media pelaporan warga terhadap berbagai permasalahan di kota. Pemprov DKI Jakarta menjadi daerah pertama yang menggunakan aplikasi Qlue. Wajar kalau Qlue jadi begitu identik dengan Pemprov DKI Jakarta, walaupun sebetulnya ini adalah aplikasi yang dibuat swasta dan bisa saja digunakan oleh daerah lain.
Tidak lama setelah kerja sama dengan Qlue, Unit Pengelola Jakarta Smart City (JSC) mulai mengembangkan aplikasi Cepat Respon Opini Publik (CROP). Jika user Qlue adalah warga yang melaporkan permasalahan, maka CROP digunakan oleh aparat Pemprov DKI Jakarta untuk menindaklanjuti laporan tersebut. Dua aplikasi ini saling terhubung satu sama lain, meski kadang integrasi yang berjalan kurang mulus.
Berdasarkan evaluasi terhadap kelemahan CROP, JSC kemudian membangun lagi aplikasi baru yang dinamai Citizen Relation Management (CRM). Berbeda dengan CROP yang hanya digunakan untuk tindak lanjut laporan dari Qlue, CRM mengintegrasikan semua kanal aspirasi yang digunakan Pemprov DKI Jakarta. Bahkan, belakangan ketika Gubernur Anies Baswedan menginstruksikan agar kecamatan membuka pelayanan pengaduan (manual) setiap hari Sabtu, laporan tersebut akan diinput oleh petugas sehingga tetap terintegrasi ke CRM.
Adaptasi Birokrasi terhadap Teknologi
Mobile apps untuk pelayanan publik perkotaan merupakan salah satu indikator dari sebuah evolusi yang sedang berlangsung yaitu "ubiquitous government" (Belanger, Carter, Schaupp, 2005) atau "smart government". Pemerintahan cerdas akan membagikan sumber daya dan informasi kepada warga negara, lembaga swadaya masyarakat maupun pihak swasta dan begitupun sebaliknya (Scholl, 2012).
Pemerintah yang cerdas (smart governance) tidak semata yang menerapkan teknologi baru dalam pengelolaan kota. Dibutuhkan respons yang lebih progresif dari pemerintah untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di era digital. Struktur birokrasi mesti diperbaiki untuk mengakomodasi teknologi baru dan pemanfaatannya (Goldsmith dan Crawford, 2014).