Penyakit maag adalah gangguan terbesar bagi saya saat bulan Ramadan. Saya memang sudah cukup lama menderita gangguan pencernaan. Meski kronis, penyakit ini datang dan pergi. Karena sudah hafal gejala dan penanganannya, saya tidak selalu ke dokter manakala perut terasa tak nyaman. Kalau tidak terasa parah sekali, saya beli saja obat di apotek.
Persis seperti hari Jumat (2/6/2017) kemarin. Sore hari jelang berbuka puasa perut terasa sakit melilit. Dalam perjalanan menuju rumah, saya mampir di salah satu gerai "Apotek Generik" untuk membeli Ranitidine, salah satu obat maag yang biasa saya konsumsi. Saya juga mencari obat lain (Cetirizine dan salep Elocon) untuk anak.
Sejak awal saya tidak nyaman dengan gesture para pegawai di apotek tersebut. Ketika ditanya apakah obat ini ada, bukannya langsung menjawab atau mengecek stok/komputer, mereka malah saling lihat dan seperti menggunakan bahasa kode sebelum mengambilkan.Â
Dua obat untuk anak yang saya cari katanya tidak ada. Untuk Cetirizine ditawarin yang drop, padahal anak saya sudah 4 tahun makanya saya nggak mau.
Ya sudah saya minta dua strip ke mbaknya. Alangkah kagetnya saya saat Mbak Kasir menyebut Rp 22.000 untuk dua strip. Berarti satu stripnya dijual Rp 11.000 atau nyaris empat kali lipat dari HET!
Saya sempat konfirmasi ke kasir, ini nggak salah harganya, kok jauh banget dari HET. Dia jawab, "Iya emang begitu Pak."
Karena waktu magrib sudah kurang dari setengah jam lagi dan tak ada apotek lain yang lebih dekat dari rumah, saya akhirnya tetap beli obat itu. Setelah membayar saya minta struk, dan dengan enteng si kasir bilang, "Nggak bisa Pak, struk cuma keluar kalo Bapak member."
Sepanjang hari berpuasa, kesabaran saya benar-benar diuji justru di ujung waktu jelang berbuka. Bagaimana mungkin struk yang merupakan hak konsumen malah tidak diberikan. Tak mau berdebat panjang saya tanya saja bagaimana caranya supaya jadi member.
Ternyata bisa langsung mendaftarkan dan kartunya langsung jadi (gratis). Saya setuju untuk daftar. Setelah jadi member, ada potongan harga 5 % sehingga saya cukup membayar Rp 21.000 'saja'. Setidaknya saya dapat struk untuk jadi barang bukti menceritakan ini semua ke teman-teman Kompasianer atau siapapun yang membaca artikel ini.
Sebetulnya bukan sekali ini saya ngalamin harga obat lebih dari HET di banyak apotek, tapi ini yang paling parah. Dan ironisnya terjadi di apotek yang menggunakan kata 'Generik' sebagai branding-nya. Dengan tagline 'Ahlinya Obat Generik' dan layout yang dibuat sederhana, calon konsumen boleh jadi berharap akan mendapatkan obat dengan harga terjangkau di sini. Ternyata bukannya mendapatkan obat generik (dan murah), konsumen malah digetok dengan harga yang jauh melampaui Harga Eceran Tertinggi.
Semoga saja pihak yang berwenang tidak melakukan pembiaran terhadap modus bisnis yang merugikan konsumen seperti ini. Kalau saya pribadi sih sudah kapok beli obat di apotek ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H