Mohon tunggu...
Shendy Adam
Shendy Adam Mohon Tunggu... Dosen - ASN Pemprov DKI Jakarta

seorang pelayan publik di ibu kota yang akan selalu Berpikir, Bersikap, Bersuara MERDEKA

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama FEATURED

"Pekerjaan Rumah" dari Ahok untuk Anies

21 April 2017   16:06 Diperbarui: 14 Oktober 2017   02:46 9774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertemuan Ahok dan Anies di Balai Kota (tribunnews.com)

Belum pernah terpikir sesuatu yang out of the box, misalnya mengeliminasi salah satu jenjang pemerintahan dengan cara melebur kecamatan dan kelurahan lalu membentuk sebuah struktur baru. Melalui cara itu, akan kita dapati struktur pemerintahan yang lebih ramping dan jarak kontrol yang tidak terlalu panjang dan besar.

Apakah itu memungkinkan? Sebagai daerah khusus yang menerima desentralisasi asimetris seharusnya sih bisa saja. Syaratnya, Pemerintah (dan DPR) harus merevisi dulu UU 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia. 

Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat

Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW) selalu jadi komoditas politik di periode pemilihan kepala daerah di Jakarta. Pasangan Agus-Sylvi sebelum tereliminasi sempat menebar janji bagi-bagi duit Rp 1 M per RW.

Wakil Gubernur petahana bahkan langsung mengeluarkan kebijakan menaikkan uang penyelenggaraan tugas dan fungsi RT/RW per April 2017 ini. Sedangkan Anies-Sandi dalam beberapa kesempatan juga menyatakan ingin memperkuat peran RT/RW, di antaranya melalui pernyataan Mardani Ali Sera saat mengomentari perang wacana soal open government.

Anies-Sandi harus sedikit waspada dalam mengelola isu ini. Keberadaan RT/RW dan lembaga kemasyarakatan lainnya di Jakarta saat ini tidak berbanding lurus dengan skenario peran penguatan partisipasi masyarakat. Dalam beberapa hal, keberadaan tokoh masyarakat di lembaga-lembaga bentukan pemerintah tersebut justru menghambat penguatan dan perluasan partisipasi masyarakat.

Secara ekstrim, bisa dibilang keberadaan RT/RW dan LMK di level kelurahan, hanya menciptakan kelompok elite baru di tengah-tengah masyarakat. Ditambah lagi dengan kondisi kedekatan mereka dengan struktur birokrasi, bahkan diberikan akses terhadap anggaran tertentu.

Birokrat sendiri dibuat malas dan tidak kreatif, dengan terus-terusan mengandalkan orang-orang ini sebagai obyek kegiatannya yang bertajuk pemberdayaan masyarakat. Maka yang terjadi adalah membuat segelintir orang terpedaya, di saat bersamaan sebagian besar tidak mendapat apa-apa.

Soal uang penyelenggaraan tugas RT/RW sendiri sudah kadung salah kaprah dianggap sebagai gaji/penghasilan. Sulit bagi gubernur baru untuk bisa meluruskan logika yang keliru soal ini. Menghapus uang penyelenggaraan tugas sepertinya tidak akan menjadi opsi bagi Anies-Sandi. Berarti yang harus dilakukan adalah memastikan uang tersebut digunakan sebagaimana mestinya, yaitu untuk menunjang operasional lembaga RT/RW.

Anies-Sandi harus memikirkan bagaimana caranya agar warga yang selama ini apatis mau terlibat (engage) dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga open government tidak sekadar konsep yang cuma indah di atas kertas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun