DPRD merasa kewenangannya dalam hal budgeting dikebiri gubernur. Di sisi lain, Ahok merasa dirinya wajib menjaga amanah uang rakyat dari niat buruk wakil rakyat yang mau menggarong melalui proyek-proyek titipan.
Tantangan bagi Anies-Sandi saat ini adalah untuk tidak kembali ke jaman jahiliah dengan membiarkan APBD menjadi bancakan oknum DPRD maupun birokrat nakal. Gubernur terpilih tak perlu segan mengikuti cara yang digunakan petahana dalam mengawal anggaran. Dengan menjamin transparansi proses penyusunannya, Anies-Sandi tak perlu gentar apabila ada oknum DPRD yang coba bermain dengan anggaran seperti kasus pengadaan UPS beberapa tahun lalu.
Perdebatan yang sempat ramai pada saat kampanye kemarin terkait anggaran adalah soal penggunaan budget dari kewajiban pengembang atas kompensasi Koefisien Lantai Bangunan (KLB), serta Corporate Social Responsibility (CSR).
Untuk yang disebut pertama, ada baiknya dilakukan kajian mendalam karena dampak ekologis yang seharusnya diperhitungkan. Sedangkan untuk CSR, saya tidak sependapat kalau harus dimasukkan dulu ke pos pendapatan di APBD. Mengapa?
Mas Anies pasti sudah merasakan bagaimana rigid dan kakunya mekanisme anggaran saat menjadi menteri. Alokasi dari CSR lah yang seharusnya bisa memfasilitasi pelaksanaan program dan/atau kegiatan yang mendesak tetapi belum terakomodir dalam APBD. Kalau CSR harus masuk dulu ke APBD, ruang gerak terhadap kebijakan-kebijakan yang inovatif menjadi semakin sulit. Bahwa penggunaan dana CSR berpotensi menimbulkan penyelewengan dan perlu ada kontrol bersama, mungkin Anies-Sandi bisa membuat Peraturan Daerah bersama DPRD. Perda tersebut akan menjadi pedoman dalam mekanisme perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban penggunaan dana CSR.
Struktur Pemerintahan Wilayah
Dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang relatif besar, serta kompleksitas persoalan yang tinggi, mustahil seorang gubernur bisa menjadi problem solver atas semua masalah perkotaan di Jakarta. Padahal, tuntutan dan ekspektasi masyarakat terhadap gubernur semakin tinggi pascapenerapan pilkada langsung. Oleh karena itu, gubernur mutlak membutuhkan bantuan dari struktur di bawahnya.
Kota dan kabupaten di Jakarta bukanlah daerah otonom melainkan hanya daerah administratif. Kota dan kabupaten adalah bagian dari perangkat daerah seperti halnya dinas dan embaga teknis daerah. Kelemahan cukup mendasar di UU Nomor 29 Tahun 2007 adalah dalam memaksimalkan peran kota dan kabupaten, kecamatan serta kelurahan sebagai ‘kepanjangan tangan’ gubernur di enam wilayah administrasi.
Kebijakan Gubernur Basuki menetapkan lurah sebagai estate manager sebetulnya merupakan salah satu terobosan baik. Dengan dilimpahkannya sebagian kewenangan serta keberadaan petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum PPSU (atau biasa dikenal Pasukan Oranye), membuat kelurahan bisa menindaklanjuti permasalahan warga dengan cepat.
Apabila kelurahan bisa menjalankan peran dengan optimal, lalu bagaimana dengan kecamatan dan kota/kabupaten administrasi? Apakah keberadaannya masih relevan?
Dengan pembagian wilayah yang terdiri dari tiga level di bawah provinsi (kota/kabupaten administrasi, kecamatan dan kelurahan) membuat rentang kendali kurang efektif. Apalagi jumlahnya pun sangat besar (44 kecamatan dan 267 kelurahan). Restrukturisasi selama ini sebatas hanya mengurangi struktur dinas, lembaga teknis, ataupun jabatan-jabatan struktural di kota/kabupaten, kecamatan dan kelurahan.