Para founding fathers kita sudah bersepakat memilih bentuk negara kesatuan alih-alih federal. Sampai sekarang pun kita masih sering mendengar istilah NKRI harga mati. Prinsip-prinsip negara kesatuan dianggap paling cocok dengan landasan ideologi bangsa Indonesia, Pancasila, khususnya sila ketiga : Persatuan Indonesia.
Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang terbatas tidak seperti negara bagian dalam federalisme. Bahkan, Indonesia pernah mengalami periode 32 tahun dengan pola hubungan pemerintah pusat dan daerah yang sentralistis. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, harus diakui Soeharto adalah Bapak Pembangunan. Sayangnya, pembangunan yang diklaim itu tidak memperhatikan prinsip pemerataan. Daerah di luar jawa 'dihisap' semua kekayaan alamnya, sementara pembangunan infrastruktur hanya terpusat di Jawa.
Indonesia adalah negara yang sangat luas. Selain pulau-pulau besar seperti Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua, masih banyak pulau-pulau kecil yang jumlahnya konon mencapai lebih dari 17 ribu. Garis pantai membentang sepanjang 99.093 kilometer. Akan tetapi, selama puluhan tahun hanya Jawa yang dibangun dengan masif. Data menunjukkan pulau Jawa berkontribusi 58% terhadap PDB Nasional (lihat gambar 1).
Jakarta bukan hanya ibukota negara dan pusat pemerintahan, tetapi juga sentra ekonomi, bisnis, pendidikan, bahkan industri pun dibangun di kota ini dan sekitarnya. Kota-kota lain di Jawa relatif bernasib lebih baik, karena walaupun tidak sepesat Jakarta namun denyut nadi pembangunan masih lebih terasa dibandingkan daerah lain di luar pulau ini.
Jangan heran kalau daerah konurbasi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) kini menanggung beban masalah perkotaan yang demikian kompleks. Jika dianalogikan dengan peribahasa ‘ada gula ada semut’, Jabodetabek adalah ‘gula’ yang mengundang ‘semut’ dari daerah lain berdatangan. Selama paradigma pembangunan nasional tidak dikoreksi, potensi masalah bagi Jabodetabek akan semakin berat. Sebaliknya, jika sejak dulu pembangunan nasional diupayakan secara merata maka eksternalitas negatif akibat urbanisasi tidak akan terjadi di Jabodetabek.
Runtuhnya rezim Orde Baru menjanjikan perubahan bagi hubungan pusat dan daerah. Setelah reformasi 1998, pemerintah mulai mengubah kebijakan sentralistis menjadi desentralisasi. Dengan kebijakan otonomi daerah diharapkan mampu memberikan kesejahteraan yang lebih merata kepada daerah. Kebijakan otonomi daerah juga diikuti dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Meskipun sudah diberikan kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri dan dibekali dengan kemampuan fiskal dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), nyatanya tidak semua daerah berhasil dalam membangun daerahnya. Tidak sedikit daerah yang alokasi belanja pegawainya justru menyedot porsi terbesar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Walhasil bayang-bayang terjadinya pemerataan pembangunan tetaplah menjadi impian.
Kita memang tidak bisa serta-merta mengatakan otonomi daerah telah gagal mendatangkan kesejahteraan rakyat dan pemerataan pembangunan. Banyak faktor yang turut menentukan. Dalam situasi seperti ini, pemerintah pusat yang diharapkan memainkan perannya. Pemerintahan pascareformasi terbilang belum berhasil mengubah paradigma pembangunan yang Jawa-sentris. Dalam tulisannya di sini, Faisal Basri mengkritik fenomena provinsi-provinsi yang memiliki kekayaan alam cukup melimpah namun mengalami pertumbuhan di bawah rerata nasional pada tahun 2014 maupun tahun-tahun sebelumnya. Provinsi-provinsi tersebut antara lain Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Papua, Riau, Kalimantan Timur dan Aceh. Status otonomi khusus untuk Aceh dan Papua juga belum mampu mengakselerasikan pertumbuhan di sana. "Keadilan harus ditegakkan," begitu penutup tulisan Bung Faisal.
Tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, pemerintahan sekarang di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo mulai mengubah haluan. Dalam Nawa Cita (sembilan agenda prioritas), salah satunya adalah “akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan.”
Pemerintahan saat ini menyadari betul adanya disparitas antar wilayah masih tinggi, apalagi jika membandingkan Kawasan Indonesia Barat dengan Kawasan Indonesia Timur. Mustahil membayangkan pemerataan ekonomi tanpa adanya akselerasi pembangunan infrastruktur, khususnya pada daerah-daerah yang selama ini terpinggirkan. Semangat perubahan itu sangat terasa dari pemaparan Menteri Pekerjaan Umum, Dr. Ir. Mochammad Basoeki Hadimoeljono, pada acara Kompasiana Nangkring bertajuk "Pembangunan Infrastruktur Indonesia Sentris" , Selasa 31 Mei 2016 di Hotal Santika Premiere, Slipi, Jakarta Barat.
Prioritas Pembangunan Infrastruktur
Menteri Basuki menjelaskan bahwa kementerian yang dipimpinnya ini siap menyukseskan Nawa Cita sebagaimana yang dijanjikan duet Jokowi-JK kepada rakyat Indonesia.Dukungan infrastruktur ke-PU-an dalam dimensi pembangunan akan diprioritaskan pada infrastruktur dasar, ketahanan pangan, dan konektivitas. Target terukur dari setiap indikator sudah ditetapkan (lihat gambar 3).
Dalam pembangunan infrastruktur dasar, yang ingin dicapai antara lain meningkatkan akses terhadap air minum, sanitasi, dan penanganan kawasan permukiman kumuh perkotaan. "Untuk perumahan kami mempunya program satu juta rumah melalui FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan-red) yang sangat diminati masyarakat. Tahun lalu FLPP itu hanya 7 triliun, sekarang 20 triliun. Lalu kita juga ingin akses air minum 100% untuk masyarakat Indonesia, dengan meningkatkan air baku melalui pembangunan embung-embung, air tanah, ketersediaan air. Kita sekarang strateginya tidak per kabupaten satu SPAM (Sistem Penyediaan Air Minum)-red), tetapi regional contohnya Kartamantul. Satu SPAM Kartamantul itu melayani Jogjakarta, Sleman, Bantul. Masih banyak SPAM-SPAM lainnya," beber menteri jebolan Universitas Gadjah Mada ini.
Untuk ketahanan pangan, Kemenpupera akan membangun dan meningkatkan jaringan irigasi, waduk, bendungan dan lain-lain. "Kita ingin membangun irigasi minimal untuk lima juta hektar (sawah-red) lagi dalam lima tahun ke depan. Sedangkan yang 7,3 juta hektar sekarang itu ada sekitar 3 juta hektar yang mengalami kerusakan-kerusakan dan akan kita pelihara. Termasuk juga dengan bendung dan bendungan," kata Pak Menteri di hadapan sekira 50 orang Kompasianer.
Sedangkan peningkatan konektivitas antara lain akan dicapai dengan pembangunan jalan nasional dan jalan tol baru, serta merevitalisasi jalan nasional dan jembatan yang sudah ada saat ini. Salah satu rencana yang cukup ambisius adalah pembangunan jalan tol 1.000 kilometer (lihat gambar 4) dan jalan nasional 2.650 kilometer sampai 2019. Kemenpupera juga membuka kesempatan apabila ada investor yang mau memprakarsai pembangunan jalan tol di luar yang sudah direncanakan. Pembangunan jalan tol tentu akan sangat mempengaruhi konektivitas antar daerah dalam satu pulau, sehingga biaya transportasi dan logistik diharapkan bisa ditekan. Sedangkan konektivitas antar pulau akan diupayakan dengan ‘tol laut’. Pembangunan infrastruktur ke-PU-an juga diarahkan untuk mendukung pelabuhan, bandara, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), kawasan industri, dan pariwisata.
Sinergi dan Koordinasi
Kesalahan masa silam yang juga tak ingin dilakukan adalah pembangunan secara parsial. Saat ini, pembangunan infrastruktur dilakukan secara terpadu lintas kementerian yang dikerangkai dalam Rencana Terpadu dan Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM). Penyusunan RPI2JM diharapkan bisa menjadi alat koordinasi dan sinkronisasi prioritas pusat (yang termuat dalam RPJMN) dengan kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Di Kemenpupera sendiri sekarang menerapkan Wilayah Pengembangan Strategis (WPS) yang berbasis keterkaitan antar sektor sehingga tidak lagi disekat wilayah administrasi. Dalam konsepsi pembangunan infrastruktur PUPR dengan pendekatan wilayah direncanakan akan bangun 35 WPS dengan rincian : Sumatera (6 WPS), Jawa (8 WPS), Kalimantan (4 WPS), Sulawesi (5 WPS), Bali-Nusa Tenggara (5 WPS), Maluku (2 WPS), Papua (4 WPS), pulau-pulau kecil terluar (1 WPS).
Nafsu besar untuk menggenjot pembangunan infrastruktur tentunya membutuhkan dukungan anggaran memadai. Kebutuhan pendanaan infrastruktur di APBN 2016 mencapai Rp. 291,71 triliun yang tersebar di sembilan kementerian/lembaga. Sementara itu, alokasi pagu indikatif hanya Rp.170,3 triliun sehingga ada selisih sebesar Rp.121,4 triliun. Persentase selisih terbesar antara kebutuhan dengan pagu indikatif ada di alokasi anggaran untuk Kemenpupera. Dari kebutuhan Rp.164 triliun, hanya ada alokasi anggaran Rp.99,311 triliun (sekitar 60%). Dibutuhkan terobosan berupa mekanisme inisiatif pembiayaan baru. Skema pembiyaan Public Private Partnership (PPP) / Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) bisa dipertimbangkan agar akselerasi pembangunan infrastruktur tidak terhambat lantaran kekurangan anggaran dari APBN.
"Untuk pembangunan jalan tol ini kita kebanyakan dari investasi pihak swasta, sehingga APBN bisa digunakan untuk pembangunan di perbatasan, di Indonesia Timur dan lain-lain," ungkap Menteri PUPERA menceritakan bagaimana strateginya menyiasati persoalan anggaran ini.
Pengalokasian anggaran yang demikian besar diharapkan akan terbayar dengan pemerataan pembangunan. Infrastruktur baru yang terbentang dari Merauke hingga Sabang akan mengubah perekonomian nasional secara umum. Dengan pembangunan infrastruktur yang mengusung paradigma Indonesia Sentris, rakyat Indonesia di manapun berada bisa merasakan pemerataan kesejahteraan dan akhirnya terwujud Indonesia yang berkeadilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H