Mohon tunggu...
Shendy Adam
Shendy Adam Mohon Tunggu... Dosen - ASN Pemprov DKI Jakarta

seorang pelayan publik di ibu kota yang akan selalu Berpikir, Bersikap, Bersuara MERDEKA

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Revolusi Pelayanan Publik di Jakarta

29 Maret 2016   22:22 Diperbarui: 4 April 2017   17:36 1736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="Salah satu sudut ruang pelayanan BPTSP Provinsi DKI Jakarta (sumber: dok.pribadi)"][/caption]Senin (28/03/2016) kemarin, saya kembali menyambangi 'kantor tercinta di Balai Kota DKI Jakarta. Selain bersilaturahmi dengan rekan-rekan sejawat, tujuan utama saya adalah mengurus surat izin penelitian untuk penyusunan tesis. Sudah terbayang keruwetan yang bakal dilalui, namun ternyata jauh lebih simpel. Urusan saya beres dalam hitungan jam. Berikut ini ceritanya :

Walaupun menyadang status sebagai PNS Provinsi DKI Jakarta, bukan berarti saya bisa melakukan penelitian dengan mengabaikan prosedur. Kebetulan data yang saya butuhkan berada di UPT Jakarta Smart City dan Dinas Komunikasi, Informatika dan Kehumasan yang notabene bukan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tempat saya bertugas. Sehingga mau tidak mau saya pun harus mengurus izin sebagaimana peneliti (umum) lainnya.

Dulu, dibutuhkan waktu lama untuk mendapatkan izin penelitian. Berbekal surat dari kampus/lembaga riset, peneliti harus meminta rekomendasi dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Provinsi DKI Jakarta atau Bakesbangpol dari daerah asal (untuk peneliti dari luar Jakarta). Tahap selanjutnya di Biro Tata Pemerintahan (Biro Tapem), SKPD tempat saya berdinas. Surat izin penelitian akan ditandatangani oleh Asisten Sekda Bidang Pemerintahan (Aspem).

Staf dari Biro Tapem yang akan memproses izin tersebut hingga ditandatangani, namun memang tidak bisa sebentar. Penyebabnya adalah proses perbal naskah dinas yang harus dilalui untuk mendapatkan tanda tangan Aspem. Pemeriksa dan pemarafserta sebelum ditandatangani Aspem cukup banyak. Kalau saya tidak salah ingat, setidaknya harus melewati Biro Hukum dan Biro Umum setelah dari Biro Tapem. Wajar saja kalau selembar surat itu baru bisa selesai dalam tempo 1-2 pekan.

Sejak ada Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP), hampir semua perizinan yang dilakukan oleh SKPD lain disentralisasi kesana. BPTSP adalah SKPD yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 12 tahun 2013 tentang penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Satuan kerja ini memiliki tugas untuk melayani perizinan dan non perizinan dengan sistem satu pintu. Kini pemohon tidak perlu lagi pergi ke masing-masing dinas terkait, cukup datang ke kantor BPTSP terdekat. Segala berkas permohonan akan diproses langsung oleh BPTSP.

Maka, kemarin saya pun bergegas ke BPTSP Provinsi DKI Jakarta yang berada di Kompleks Balai Kota Gedung Blok H lantai 18, Jalan Medan Merdeka Selatan No.8-9. Tepat jam 9 saya sampai di lokasi. Di pintu masuk ruangan dengan nuansa oranye itu saya langsung disambut oleh petugas yang menanyakan tujuan. "Untuk izin penelitian tidak ambil nomor urut Pak, langsung saja ke meja yang di pojok situ, nanti akan dibantu oleh Mas Seno," kata si petugas berkemeja lengan panjang warna merah marun itu. Saya sengaja tidak menggunakan pakaian dinas, karena ingin tahu bagaimana perlakuan petugas kepada warga 'biasa' (bukannya saya ini luar biasa lho.. cuma biasa di luar.. hehe).

Di meja pojok yang dimaksud petugas tadi sudah ada dua orang yang datang terlebih dulu. Setelah antri lebih kurang 20 menit, kini giliran saya dilayani. Karena cukup familiar dengan pengurusan izin penelitian ini, saya sudah menyiapkan semua dokumen yang dipersyaratkan. Saya juga harus mengisi form permohonan yang ditandatangani di atas materai Rp.6000. Untung saja di dompet masih ada materai selembar sisa mengurus kuitansi reimburse uang kuliah.

Setelah lengkap, saya serahkan kembali dan diperiksa oleh Mas Seno (sok akrab :D). Ia kemudian langsung mengetik draft surat izin penelitian saya. Terakhir, saya diminta untuk memeriksa kembali apakah ada kesalahan. "Baik Pak, surat izin ini akan kami proses, silakan Bapak tunggu dulu di kursi yang tersedia," katanya.

"Hari ini langsung jadi, Mas?" tanya saya.

"Iya Pak, ditunggu saja," jawabnya lagi.

Oke, keren juga nih jadi saya nggak perlu bolak-balik. Sambil menunggu saya memperhatikan suasana sekitar. Tidak ada lagi loket pelayanan ala kantor pemerintahan jaman dulu. Pemohon duduk di kursi di hadapan petugas front office yang melayani. Sepertinya ada pembagian antrian tergantung pelayanan yang dibutuhkan. Tidak semua perizinan bisa jadi dalam 1 (satu) hari. Beberapa yang membutuhkan verifikasi, survei lapangan dan validasi tentu saja membutuhkan waktu lebih lama. Perbedaannya, warga tak perlu lagi mendatangi satu per satu dinas untuk mendapatkan perizinan. Ketika proses sudah selesai, pemohon bisa kembali untuk mengambil di BPTSP.

Saya juga sempat menonton video profile BPTSP di layar monitor yang tersedia. Ada informasi menarik yang saya perhatikan, yaitu call center 164 dan AJIB (Antar Jemput Izin Bermotor). Bagi pemohon yang tidak punya waktu datang ke BPTSP, bisa menghubungi call center untuk mendapatkan informasi dan meminta pelayanan AJIB. Kemudian petugas call center akan mencari AJIB crew terdekat untuk menjemput dokumen persyaratan pemohon. Perizinan selanjutnya diproses sesuai tahapan masing-masing. Jika sudah selesai, akan ada petugas dari BPTSP yang mengantarkan kembali ke pemohon.

 [caption caption="Antar Jemput Izin Bermotor (sumber: akun twitter @layananjakarta)"]

[/caption]Selama menunggu, saya juga sempat melihat beberapa petugas hilir yang menggunakan seragam agak berbeda, sepertinya digunakan untuk aktivitas luar lapangan (outdoor). Ternyata benar. Jika diperhatikan seksama, tertulis "Surveyor" di bagian dada kemeja yang mereka kenakan dan lambang serta tulisan BPTSP di bahu sebelah kiri. Dugaan saya mereka adalah petugas survey lapangan untuk perizinan tata ruang (seperti IMB, block plan, advice planning, dll.)

Tik-tok, tik-tok, tik-tok.. Jarum jam terus berdetak. Kok lama ya, pikir saya dalam hati. Rasa bosan sudah mendera sedari tadi. Pandangan saya sudah menyapu seluruh sudut ruangan, termasuk loket Bank DKI dengan mbak-mbak teller yang selalu tersenyum ramah.

Karena penasaran, saya coba perhatikan alur kerja setiap petugas.  Ternyata semua dokumen pelayanan yang selesai dalam satu hari (one day service) dikumpulkan dulu dalam batas waktu tertentu, untuk kemudian dibawa sekaligus ke back office dan ditandatangani Kepala BPTSP atau Wakil Kepala (jika Kepala BPTSP sedang tidak di tempat seperti kemarin saat saya mengurus). Kurang lebih jam 11.30 nama saya dan sejumlah pemohon lain dipanggil. Surat izin penelitian akhirnya dalam genggaman. Hanya ucapan terima kasih yang saya berikan ke Mas Seno. Nggak ada tuh 'bahasa kode' untuk meminta biaya administrasi 'seikhlasnya'.

Saya lantas memasukkan 'surat sakti' tersebut ke dalam tas. Saat ingin meninggalkan ruangan pelayanan, seorang petugas di sisi kiri pintu masuk/keluar (dari arah dalam) mencegat saya. "Maaf Pak, boleh kami meminta penilaian Bapak", ujarnya sambil menunjuk ke sebuah monitor layar sentuh dengan pilihan mulai dari "sangat tidak puas - sampai puas". Setelah saya memberi penilaian, ucapan salam dan senyuman sang petugas mengantar saya meninggalkan BPTSP.

 Jujur, saya sempat suudzon dengan permintaan feedback tersebut. Saya pikir, ah formalitas saja. Nah, sambil saya menulis artikel ini saya membuka laman BPTSP. Ternyata di kanal informasi, kita bisa mengunduh form rekapitulasi penilaian warga di setiap titik pelayanan BPTSP (saat ini tercatat di 319). Untuk Senin (28/3), BPTSP Provinsi DKI Jakarta hanya menempati peringkat 17 dengan tingkat kepuasan 83,08%. Jawara di hari Senin kemarin adalah PTSP Kota Administrasi Jakarta Selatan dengan tingkat kepuasan mencapai 98,89%. Salut!

[caption caption="Rekapitulasi penilaian masyarakat atas layanan PTSP (sumber: laman resmi BPTSP DKI Jakarta - pelayanan.jakarta.go.id)"]

[/caption]Well, pelayanan yang saya dapatkan di BPTSP mungkin belum sempurna. Setidaknya saya sempat bengong selama +/- 2,5 jam tanpa diinformasikan dengan pasti dari awal. Tapi, setidaknya itu jauh lebih baik daripada saya harus bolak-balik ke sejumlah instansi dan butuh waktu hingga setengah bulan bahkan lebih. BPTSP cukup berhasil melakukan deregulasi dan debirokratisasi pada sekian banyak perizinan di DKI Jakarta. Semoga penyempurnaan terus dilakukan oleh BPTSP.

Satu catatan dari saya, ada baiknya BPTSP jangan menggunakan paradigma New Public Management (NPM) yang sempat booming dengan konsep Reinventing Government-nya. Mengapa? Karena dalam NPM, pemerintah dituntut memperbaiki layanan demi kepuasan pengguna yang diibaratkan sebagai pelanggan (customer). Padahal, pelayanan prima sudah seharusnya diberikan kepada warga negara (citizens) sebagai pemilik kedaulatan negara. Ada baiknya gagasan Dernhardt dan Dernhardt (2003) tentang New Public Service (NPS) yang dijadikan acuan dalam pengembangan BPTSP ke depan.

Dengan political will dari kepala daerah, kesungguhan para pegawai, saran dan masukan dari warga, saya yakin revolusi pelayanan publik di Provinsi DKI Jakarta sudah di depan mata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun