Mohon tunggu...
Shendy Adam
Shendy Adam Mohon Tunggu... Dosen - ASN Pemprov DKI Jakarta

seorang pelayan publik di ibu kota yang akan selalu Berpikir, Bersikap, Bersuara MERDEKA

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Revolusi Pelayanan Publik di Jakarta

29 Maret 2016   22:22 Diperbarui: 4 April 2017   17:36 1736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya juga sempat menonton video profile BPTSP di layar monitor yang tersedia. Ada informasi menarik yang saya perhatikan, yaitu call center 164 dan AJIB (Antar Jemput Izin Bermotor). Bagi pemohon yang tidak punya waktu datang ke BPTSP, bisa menghubungi call center untuk mendapatkan informasi dan meminta pelayanan AJIB. Kemudian petugas call center akan mencari AJIB crew terdekat untuk menjemput dokumen persyaratan pemohon. Perizinan selanjutnya diproses sesuai tahapan masing-masing. Jika sudah selesai, akan ada petugas dari BPTSP yang mengantarkan kembali ke pemohon.

 [caption caption="Antar Jemput Izin Bermotor (sumber: akun twitter @layananjakarta)"]

[/caption]Selama menunggu, saya juga sempat melihat beberapa petugas hilir yang menggunakan seragam agak berbeda, sepertinya digunakan untuk aktivitas luar lapangan (outdoor). Ternyata benar. Jika diperhatikan seksama, tertulis "Surveyor" di bagian dada kemeja yang mereka kenakan dan lambang serta tulisan BPTSP di bahu sebelah kiri. Dugaan saya mereka adalah petugas survey lapangan untuk perizinan tata ruang (seperti IMB, block plan, advice planning, dll.)

Tik-tok, tik-tok, tik-tok.. Jarum jam terus berdetak. Kok lama ya, pikir saya dalam hati. Rasa bosan sudah mendera sedari tadi. Pandangan saya sudah menyapu seluruh sudut ruangan, termasuk loket Bank DKI dengan mbak-mbak teller yang selalu tersenyum ramah.

Karena penasaran, saya coba perhatikan alur kerja setiap petugas.  Ternyata semua dokumen pelayanan yang selesai dalam satu hari (one day service) dikumpulkan dulu dalam batas waktu tertentu, untuk kemudian dibawa sekaligus ke back office dan ditandatangani Kepala BPTSP atau Wakil Kepala (jika Kepala BPTSP sedang tidak di tempat seperti kemarin saat saya mengurus). Kurang lebih jam 11.30 nama saya dan sejumlah pemohon lain dipanggil. Surat izin penelitian akhirnya dalam genggaman. Hanya ucapan terima kasih yang saya berikan ke Mas Seno. Nggak ada tuh 'bahasa kode' untuk meminta biaya administrasi 'seikhlasnya'.

Saya lantas memasukkan 'surat sakti' tersebut ke dalam tas. Saat ingin meninggalkan ruangan pelayanan, seorang petugas di sisi kiri pintu masuk/keluar (dari arah dalam) mencegat saya. "Maaf Pak, boleh kami meminta penilaian Bapak", ujarnya sambil menunjuk ke sebuah monitor layar sentuh dengan pilihan mulai dari "sangat tidak puas - sampai puas". Setelah saya memberi penilaian, ucapan salam dan senyuman sang petugas mengantar saya meninggalkan BPTSP.

 Jujur, saya sempat suudzon dengan permintaan feedback tersebut. Saya pikir, ah formalitas saja. Nah, sambil saya menulis artikel ini saya membuka laman BPTSP. Ternyata di kanal informasi, kita bisa mengunduh form rekapitulasi penilaian warga di setiap titik pelayanan BPTSP (saat ini tercatat di 319). Untuk Senin (28/3), BPTSP Provinsi DKI Jakarta hanya menempati peringkat 17 dengan tingkat kepuasan 83,08%. Jawara di hari Senin kemarin adalah PTSP Kota Administrasi Jakarta Selatan dengan tingkat kepuasan mencapai 98,89%. Salut!

[caption caption="Rekapitulasi penilaian masyarakat atas layanan PTSP (sumber: laman resmi BPTSP DKI Jakarta - pelayanan.jakarta.go.id)"]

[/caption]Well, pelayanan yang saya dapatkan di BPTSP mungkin belum sempurna. Setidaknya saya sempat bengong selama +/- 2,5 jam tanpa diinformasikan dengan pasti dari awal. Tapi, setidaknya itu jauh lebih baik daripada saya harus bolak-balik ke sejumlah instansi dan butuh waktu hingga setengah bulan bahkan lebih. BPTSP cukup berhasil melakukan deregulasi dan debirokratisasi pada sekian banyak perizinan di DKI Jakarta. Semoga penyempurnaan terus dilakukan oleh BPTSP.

Satu catatan dari saya, ada baiknya BPTSP jangan menggunakan paradigma New Public Management (NPM) yang sempat booming dengan konsep Reinventing Government-nya. Mengapa? Karena dalam NPM, pemerintah dituntut memperbaiki layanan demi kepuasan pengguna yang diibaratkan sebagai pelanggan (customer). Padahal, pelayanan prima sudah seharusnya diberikan kepada warga negara (citizens) sebagai pemilik kedaulatan negara. Ada baiknya gagasan Dernhardt dan Dernhardt (2003) tentang New Public Service (NPS) yang dijadikan acuan dalam pengembangan BPTSP ke depan.

Dengan political will dari kepala daerah, kesungguhan para pegawai, saran dan masukan dari warga, saya yakin revolusi pelayanan publik di Provinsi DKI Jakarta sudah di depan mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun