Mohon tunggu...
Shendy Adam
Shendy Adam Mohon Tunggu... Dosen - ASN Pemprov DKI Jakarta

seorang pelayan publik di ibu kota yang akan selalu Berpikir, Bersikap, Bersuara MERDEKA

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Meluruskan Logika Gubernur Soal Bis Jemputan Pegawai

26 Januari 2016   10:43 Diperbarui: 26 Januari 2016   11:56 2480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarahan gubernur Basuki Tjahaja Purnama membuncah mendengar kabar soal penyimpangan di bis jemputan pegawai. Ia tak mau lagi bis jemputan diperuntukkan eksklusif bagi PNS DKI Jakarta. Pengelolaannya akan diserahkan pada PT. Transjakarta.

[caption caption="Bus jemputan di salah satu kantor walikota. (sumber foto : www.beritajakarta.com)"][/caption]

Saya bisa maklum dengan kemarahan Pak Ahok. Walaupun tidak pernah merasakan sendiri –karena belum pernah naik bis jemputan pegawai—saya pernah mendengar cerita teman-teman yang mengalami perundungan (bullying). “Pokoknya lo harus hati-hati kalau nanti mau naik bis jemputan, jangan asal duduk aja harus tanya dulu kursi itu sudah ada yang punya atau belum,” begitu pesan seorang teman. Wajar kalau teman saya berpesan begitu, dia sudah pernah didamprat pegawai senior lantaran ‘menduduki kursi miliknya’.

Soal iuran di bis juga sudah cerita lama, saya tidak bisa bercerita karena memang tak terlalu paham detailnya. Nah, kalau soal para ‘PNS pemburu jemputan’ yang buru-buru langsung pulang begitu pukul 16.00 saya tahu. Coba deh lewat di depan Balai Kota maupun kantor-kantor wali kota pada jam tersebut, suasananya tidak jauh beda dengan pada saat bubaran pabrik. Menurut saya hal ini bukan persoalan besar. Toh, jam kerja PNS Pemprov DKI Jakarta memang dari pukul 07.30 sampai 16.00 WIB.

Saya sendiri —sebelum menjalani tugas belajar sejak satu setengah tahun lalu— walaupun tidak menggunakan bis jemputan juga selalu tenggo (jam 4 teng langsung go) apabila sedang tidak ada pekerjaan yang urgent. Nah, yang jadi soal adalah kalau pada saat ada pekerjaan yang mendesak dan harus diselesaikan tapi si pegawai menolak dengan alasan takut ketinggalan jemputan. Hellooo, ini Jakarta Pak/Bu, angkutan umum ada sampai larut malam. Bahkan ada taksi yang siap mengantar ke mana saja 24 jam.

Saya sepakat kalau Pak Ahok ingin memperbaiki mekanisme bis jemputan pegawai ini. Mengikuti emosi sesaat, si bos sempat mengancam akan menghapus bis jemputan. Belakangan, ia mengubah sikapnya namun dengan sejumlah rencana perubahan. Bis jemputan rencananya tidak lagi ekslusif untuk PNS DKI, jam edarnya pun ditambah. Pengelolaan bis tersebut akan diambil alih oleh PT Transjakarta. Sayangnya, ada logika yang kurang lurus dari gubernur Basuki mengenai bis jemputan ini. Berikut ini ulasannya:

Bis Jemputan sebagai Bagian dari Sistem Transportasi Kota

Selain soal bullying, uang iuran, dan kebiasaan tenggo PNS DKI, ada satu poin lagi yang sempat membuat gusar Pak Ahok. Ia kesal karena pejabat eselon ikutan naik bis jemputan, padahal mereka sudah diberikan uang transportasi. Saya kurang bisa memahami mengapa Bapak Gubernur justru lebih senang para pejabat menggunakan kendaraan pribadi (atau mungkin taksi) ketimbang bis. Bukannya malah lebih baik kalau semakin banyak orang menggunakan bis? Secara tidak langsung akan mengurangi jumlah mobil yang beredar di jalan.

Kalau ada yang salah atau kurang tepat, itu justru soal pemberian uang transportasi. Tambahan penghasilan itu ibarat mempersilakan para pejabat eselon untuk membeli (baca: kredit) mobil baru karena cicilannya bisa ditutup dari uang transportasi. Semakin bertambah jumlah mobil, semakin sulit kemacetan dibereskan. Alih-alih memberikan uang transportasi berdasarkan jabatan, Pak Ahok mungkin bisa mempertimbangkan agar uang tersebut diberikan kepada siapa saja yang lembur. Hitung-hitung uang itu sebagai pengganti bagi pegawai/pejabat yang tidak bisa ikut bis jemputan karena harus menyelesaikan pekerjaannya overtime.

[caption caption="Data pertumbuhan jumlah kendaraan di Jakarta. sumber : BPS Jakarta"]

[/caption]

Kemudian soal rencana bis jemputan tidak lagi eksklusif untuk PNS DKI, saya rasa idenya cukup baik. Hanya saja kebijakan itu tidak bisa diterapkan dengan kondisi sekarang. Jangankan untuk mengangkut penumpang non-pegawai, untuk PNS DKI saja sudah tidak muat. Jangan heran kalau di beberapa bis tersebut ada yang memakai kursi plastik ala abang tukang bakso. Cara paling mudah ya dengan menambah jumlah bis maupun rutenya, sehingga dapat mengangkut lebih banyak lagi penumpang.

Sebetulnya, kalau mau sedikit repot Pemprov DKI Jakarta bisa membuat kebijakan khusus terkait bis jemputan. Bukan cuma Pemprov DKI Jakarta loh yang punya bis jemputan pegawai, tetapi hampir semua instansi pemerintah (pusat). Melalui pengaturan, semua bis jemputan harus diperlakukan sama yaitu tidak boleh eksklusif untuk instansinya saja. Sebagai langkah awal, Dinas Perhubungan dan Transportasi (Dishubtrans) mungkin perlu mendata instansi mana saja yang memiliki bis jemputan, berapa armadanya, dan ke mana saja rutenya. Jika ada rute yang bersisian dan daya tampungnya melebihi jumlah penumpang eksisting mungkin bisa dimerger, sehingga bisnya bisa digunakan untuk rute lain.

Boleh juga dipertimbangkan untuk ‘memaksa’ kantor-kantor swasta, khususnya di area seperti Sudirman-Thamrin-Kuningan, agar menyediakan bis jemputan karyawan. Jika kewajibannya dilekatkan kepada satu per satu perusahaan mungkin akan memberatkan. Tetapi tidak terlalu sulit jika setiap gedung yang diwajibkan menyediakan. Soal bagaimana pengelola gedung berurusan dengan tenant, biar dibebaskan saja. Termasuk kalau antara tenant dan pengelola gedung kemudian mau mengalihdayakan (outsorcing) kebutuhan bis jemputan ini. Rute-rute yang harus disiapkan juga fleksibel sesuai kondisi dan kebutuhan di setiap gedung, namun harus di bawah koordinasi Dishubtrans. Jam berangkat dan pulang idealnya dibedakan dengan bis jemputan PNS, sehingga mengurangi beban jalan pada peak hours.

Pak Ahok juga mengatakan kalau bis jemputan tidak boleh hanya digunakan pada saat mengantar dan menjemput, melainkan mengangkut penumpang di siang hari. Logikanya, beban puncak jalan dan angkutan itu ada di pagi dan sore hari. Ada peningkatan di jam makan siang, tapi eskalasinya tidak sebanding dengan pagi dan sore. Sehingga tidak efisien mengoperasikan banyak bis ketika jumlah penumpangnya justru menurun. Apalagi kalau menggunakan mekanisme pembayaran rupiah per kilometer. Kecuali kalau Pak Ahok memang bermurah hati membagikan ‘kue’ APBD kepada operator bis tetapi tidak sesuai kebutuhan rakyat.

Selama ini tidak seimbangnya supply and demand  transportasi di ibukota ditutupi oleh 'kreativitas' warga, semisal mobil omprengan maupun ride sharing seperti komunitas Nebengers. Pemerintah daerah seharusnya tidak boleh kalah kreatif. Kalau ada peraturan yang bertentangan, perlu dilakukan penyesuaian. Pengaturan soal bis jemputan perlu dirumuskan dengan memperhatikan kebijakan makro transportasi, sehingga keberadaannya efektif dan efisien serta berkontribusi dalam mengurai kemacetan di Jakarta.

 

Joglo, 26 Januari 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun