Penggunaan logika korporat dalam ranah publik sebetulnya lumrah terjadi, khususnya sejak gagasan New Public Management (NPM) diperkenalkan melalui tulisan David Osborne dan Ted Gaebler yang berjudul Reinventing Government. Ide NPM ini sempat membuat banyak kalangan terpukau karena diyakini mampu mengubah paradigma birokrasi melalui semangat kewirausahaan dalam sektor publik.
Dalam New Public Management, masyarakat pengguna jasa publik disamakan dengan “customer” sebagaimana istilah dunia bisnis untuk menyebut pengguna produknya. Customer adalah konsep dalam teori ekonomi liberal yang memahami manusia sebagai “economic man” (makhluk ekonomi) yang tindakannya dimotivasi oleh dorongan untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan materialnya.
Belakangan, muncul konsep New Public Service (NPS) yang bisa dikatakan sebagai antitesis dari NPM. New Public Service memandang publik sebagai “citizen” atau warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban publik yang sama. Tidak hanya sebagai customer yang dilihat dari kemampuannya membeli atau membayar produk atau jasa.
Kembali ke urusan lurah, meski secara substansi tak ada beda alangkah lebih baik jika istilah urban manager yang digunakan. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, urban adalah berkenaan dengan kota atau bersifat kekotaan. Penggunaan istilah urban manager juga lebih pas dengan paradigma NPS yang lebih menempatkan warga dalam posisi yang lebih dihargai.
Oh iya, andai ada Kompasianer atau pembaca lain yang kebetulan juga merupakan PNS Pemprov DKI Jakarta dan tertarik jadi estate manager alias lurah, langsung aja daftar di sini.
[1] http://ahok.org/berita/news/kamis-esok-lurah-dan-camat-hasil-lelang-jabatan-dilantik/
[2] http://megapolitan.kompas.com/read/2015/06/05/15062861/Ahok.Ingin.Lurah.seperti.Manajer.Perumahan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H