[caption caption="Harian BOLA edisi terakhir, 31 Oktober 2015"][/caption]
Senin pagi ini ada yang berbeda bagi pembaca setia Harian BOLA. Mereka tak bisa lagi menjumpai koran kesayangannya itu. Harian Bola memutuskan untuk tidak terbit lagi per awal November 2015 ini.
Pada 3 Maret 2015 lalu, tepat saat BOLA merayakan hari jadinya yang ke-31, saya menulis artikel : Tantangan BOLA di Usia 31. Dalam tulisan tersebut, saya sudah menyiratkan bahwa eksistensi BOLA -khususnya edisi harian--sedang dalam pertaruhan. Ternyata perkiraan saya tepat, Harian Bola terbit hanya sampai 31 Oktober 2015 atau tidak sampai delapan bulan sejak tulisan tersebut.
Beberapa pekan lalu saya sempat memiliki firasat. Terlintas di benak saya : BOLA akan merayakan ultah yang ke-32 tahun depan, akankah nasib mereka akan seperti rezim orde baru? Walaupun tidak seluruhnya bubar, berhenti terbitnya Harian Bola menjawab sebagian kekhawatiran saya. Semoga BOLA edisi tabloid dan koran (khusus Sabtu) bisa bertahan lebih lama.
Bagi saya, BOLA bukan sekadar bacaan biasa. Berkat BOLA, kecintaan saya pada dunia jurnalistik tumbuh. Cita-cita terbesar saya (baca : dulu) adalah menjadi wartawan BOLA. Setelah sempat menjajal kesempatan menjadi jurnalis olahraga di Harian MERDEKA -yang kini juga sudah bubar--saya masih memlihara keinginan bergabung dengan BOLA. Namun, Tuhan menetapkan bahwa jalan hidup saya tidak lagi di bidang jurnalistik.
Meski begitu, BOLA tetap menjadi bagian tak terpisahkan dalam perjalanan saya. Melalui rubrik 'Opini Publik' yang disediakan oleh redaksi BOLA, saya berkesempatan menyalurkan hasrat terpendam dalam menulis. Kalau tidak salah mencatat, sekitar 13 tulisan saya sempat mampir menyapa pembaca di BOLA (sejak masih tabloid pada 2011 hingga di edisi harian).
Berhenti terbitnya Harian BOLA setidaknya disebabkan tiga persaingan sekaligus. Pertama, beratnya persaingan media di tengah penetrasi teknologi informasi. Saingan bagi koran kini bukan hanya dari media daring, tetapi juga datang dari social media. Berita dan informasi mengalir deras ke gawai yang kita pegang. Media mainstream seharusnya hadir dengan berita yang lebih indepth. Akan tetapi, dengan deadline setiap hari saya bisa memaklumi kesulitan redaksi menyajikan berita yang berbeda.
Kedua, persaingan dengan rival terberat yaitu Top Skor. BOLA memang memiliki sejarah panjang lebih dari tiga dekade. Tapi, dalam urusan terbit harian, Top Skor jelas lebih unggul. Mereka sudah membuka jalan sejak sepuluh tahun lalu. Jadi, kalaupun sekarang ada persaingan dengan media online, Top Skor relatif lebih ajeg karena sudah lebih lama membangun kedekatan dengan pelanggan. Keputusan BOLA menerbitkan harian sungguh terlambat. Momentum adalah hal penting dalam keberhasilan atau kegagalan. (lebih detail tentang persaingan dengan Top Skor bisa dibaca di tulisan saya : Ketika Sang Pionir Jadi Pengekor, Nasib Harian Olahraga Bola di Ujung Tanduk?)
Ketiga, persaingan di internal Kompas Gramedia Group. Sudah harus meladeni Top Skor, Harian BOLA juga ditantang 'saudara' sendiri yakni Super Ball dari Tribunnews Group. Tampaknya BOLA kesulitan dalam memilih segmen pembaca spesifik yang ingin disasar.
Dalam pengumuman 'pamitan', BOLA mengatakan akan menghadirkan produk terbarunya yaitu edisi Sabtu (tetap dalam format koran). Edisi tabloid mingguan pun sepertinya akan dipertahankan. Kita lihat saja apa bedanya kedua produk tersebut. Apakah keduanya bisa bertahan? Atau salah satu akan menyusul jejak Harian BOLA?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H