Air sepertinya menjadi 'musuh' utama bagi Jakarta, selain tentu saja kemacetan. Saat musim hujan, air yang berlimpah mendatangkan bencana banjir. Sebaliknya, pada musim kemarau warga Jakarta banyak yang kekeringan. Jelas ada yang salah dengan tata kelola air di kota ini.
Air adalah sumber kehidupan. Pemenuhan kebutuhan air bersih merupakan prasyarat utama dalam mewujudkan pembangunan kota yang berkelanjutan. Seiring dengan terus bertambahnya jumlah penduduk dan aktivitas kota maka kebutuhan air bersih juga terus meningkat. Bisa dibayangkan berapa besarnya kebutuhan air bersih untuk kota Jakarta yang berpenduduk hampir 10 juta jiwa jika per orang membutuhkan air 60-150 liter/hari.
Secara umum, permasalahan pokok dalam pemenuhan air bersih, meliputi: i) masih terbatasnya cakupan pelayanan air bersih; ii) terbatasnya sumber air bersih selain yang berasal dari air tanah; iii) keterbatasan jaringan pelayanan air bersih.
Itu baru dari rumah tangga, bagaimana dengan perkantoran, hotel dan pusat perbelanjaan? Terus terang saya ngeri membayangkan berapa banyak kebutuhan air dari gedung-gedung bertingkat yang ada di Jakarta. Kalau semuanya dibiarkan menyedot air tanah tanpa batasan, ancaman penurunan muka tanah (land subsidence) bukan sekadar isapan jempol belaka.
[caption caption="sumber: paparan NCICD"]
Data dari Pemprov DKI Jakarta menyebutkan laju penurunan tanah yang terdeteksi adalah sekitar 1-15 centimeter per tahun, bervariasi secara spasial maupun temporal. Jika terus terjadi, maka wilayah Jakarta Utara akan berada pada 3-5 meter di bawah permukaan laut pada tahun 2030. Bahaya ambles di sejumlah lokasi juga patut diwaspadai.
"Data GPS (Global Positioning System) hasil penelitian dengan ITB menunjukkan `subsidence rate` (tanah ambles) bisa sampai 25 cm per tahun. Itu cukup tinggi untuk `dislocation` dari suatu bangunan," kata peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Robert M Delinom.[2]
Penyedotan air tanah di Jakarta sudah dimulai sejak jaman Belanda, dan penyedotan air tanah tercatat semakin cepat terjadi sejak tahun 1989 hingga 2007, dengan rata-rata 70.000 meter kubik per hari hinga meningkat hampir 10 kali lipat 650.000 meter kubik per hari.
Tentu harus ada tindakan konkret untuk mengurangi penyedotan air tanah Jakarta, yang konon sampai mengebor hingga 60 meter ke dalam tanah atau bahkan lebih. Menggunakan air bersih perpipaan menjadi alternatif paling mungkin dilakukan. Mengapa?
Jaringan air perpipaan tidak mengambil air tanah sebagai air bakunya. Aetra sebagai salah satu operator air perpipaan di Jakarta, menggunakan sumber air baku yang berasal dari Waduk Jatiluhur yang dikelola oleh Perum Jasa Tirta II (PJT II), yang dialirkan ke Jakarta melalui saluran terbuka Kanal Tarum Barat (Kali Malang).[3]
Salah satu tantangan untuk menggunakan air bersih perpipaan terkadang adalah anggapan sebagian masyarakat akan keamanan dan kesehatan air tersebut. Apalagi kita tahu di sepanjang aliran sungai itu, masyarakat seringkali membuang sampah di sungai, sehingga air baku tercemar.
Jangan takut, berdasarkan penjelasan di situs resmi Aetra kita bisa mendapatkan gambaran bagaimana proses produksi air bersih sebelum didistribusikan ke pelanggan. Setelah sampai di Instalasi Pengolahan Air (IPA) Aetra di Jakarta, air baku masuk ke dalam saringan kasar dan halus sebagai proses awal pembersihan sampah.
Air melalui proses flokulasi dan sedimentasi dimana kotoran yang ersisa di dalam air akan membentuk flok dan mengendap menjadi Lumpur di dalam kolam sedimentasi. Dalam perjalanan menuju bak penampungan air bersih (reservoir), air akan kembali disaring dan diberi Klorin untuk membunuh kuman, sehingga air menjadi bersih. Klorin yang dibubuhkan sebelumnya berfungsi untuk membunuh kuman, kemudian disalurkan ke rumah-rumah pelanggan dan dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.[4]
- IPA Buaran I (Kapasitas 2.500 liter/detik)
- IPA Buaran II (Kapasitas 2.500 liter/detik)
- IPA Pulo Gadung (Kapasitas 4.000 liter/detik)
Penggunaan air bersih perpipaan sendiri belum bebas masalah, mulai dari kebocoran pipa jaringan, pencurian air hingga keterbatasan jangkauan serta aksesibilitas masyarakat. Berbagai kekurangan itu menjadi pekerjaan rumah bagi Aetra selaku operator serta Pemprov DKI Jakarta sebagai regulator untuk memenuhi ekspektasi masyarakat ibukota.
Sejujurnya, di rumah saya pun masih menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bukannya tidak mau menggunakan air bersih perpipaan, tetapi memang jaringannya belum sampai ke kawasan di mana saya tinggal. Meski begitu, dengan kesadaran bahwa kelestarian lingkungan harus dijaga, saya berusaha sebisa mungkin untuk menghemat penggunaan air.
Di internet sudah banyak tips bagaimana caranya menghemat air. Tinggal bagaimana niat dan tindakan nyata kita saja untuk menerapkannya. Bukan cuma pada saat di rumah, tetapi juga ketika menggunakan fasilitas umum di mall, perkantoran, apartemen atau hotel(misal: ke toilet, berwudhu, dll).
Mengutip tausiyah yang biasa disampaikan KH. Abdullah Gymnastiar (Aa’ Gym), mari kita lakukan dengan 3M : mulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang kecil, dan mulai sekarang juga. Ingat, keberlanjutan kota Jakarta untuk anak dan cucu kelak turut dipengaruhi perilaku kita saat ini.
[2] http://www.antaranews.com/berita/365432/kota-jakarta-ambles-hingga-25-cmtahun
[3] http://www.aetra.co.id/index.php/id_id/infrastruktur/page?id=sumber-air
[4] http://www.aetra.co.id/index.php/id_id/infrastruktur/page?id=proses-produksi-air
[5] http://www.aetra.co.id/index.php/id_id/infrastruktur/page?id=instalasi-pengolahan-air
Sumber foto : situs resmi dan akun Twitter Aetra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H