Melalui interaksi sosial yang diakomodasi dalam ruang publik terjadi pembelajaran antara manusia satu dengan manusia lainnya, komunitas satu dengan komunitas lain. Proses ini berlangsung terus menerus sehingga menanamkan kesadaran warga untuk menerima konsekuensi hidup berkota yaitu heterogenitas yang tinggi. Pada gilirannya, dengan interaksi yang terjalin mesra maka kohesi sosial akan terbangun. Arnberger dan Eder (2012) memaknai kohesi sosial sebagai kelekatan komunitas.
Peters, Elands, dan Bujis (2010) mengatakan bahwa faktor utama terbentuknya kohesi sosial melalui ruang terbuka publik adalah karakteristik ruang terbuka publik yang inklusif, dapat dimasuki oleh orang lintas etnis, status sosial-ekonomi. Hal menarik dari
penjelasan Peters et al. (2010) adalah ternyata kohesi sosial terstimulasi tidak harus dengan interaksi sosial yang intensif, formal, dan terstruktur dengan orang atau kelompok yang sudah dikenal, melainkan dapat dimulai dengan interaksi sosial yang bersifat informal dan sepintas lalu (cursory), misalnya mengobrol singkat, atau sekadar sapaan “hai, hallo”. Bukankah bentuk interaksi seperti itu yang biasa kita jumpai di ruang publik?
Kohesi sosial juga mencakup perasaan kebersamaan (sense of belonging), kepercayaan sosial (social trust), dan kerjasama timbal balik (generalised reciprocity and cooperation), serta keharmonisan sosial (social harmony) (Harpham, Grant, & Thomas, 2002). Prakondisi seperti ini sesungguhnya merupakan modal sosial yang amat penting bagi terbentuknya urbanitas warga kota.
[3] http://marketplus.co.id/2014/09/jakarta-kota-dengan-banyak-mall-di-dunia/