Mohon tunggu...
Shendy Adam
Shendy Adam Mohon Tunggu... Dosen - ASN Pemprov DKI Jakarta

seorang pelayan publik di ibu kota yang akan selalu Berpikir, Bersikap, Bersuara MERDEKA

Selanjutnya

Tutup

Politik

DPD dan Sistem Bikameralisme Banci

26 Juni 2015   11:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:43 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Soft Bicameralisme atau Bikameralisme Banci?

Sekilas, keberadaan DPD dan DPR menyiratkan penerapan sistem bikameralisme dalam legislatif di Indonesia. Akan tetapi, ketimpangan kewenangan sangat kentara di antara keduanya. Dengan frase “dapat mengajukan”, “ikut membahas”, dan “memberikan pertimbangan” sebagaimana dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) UUD 1945 sangat tidak sebanding dengan wewenang DPR dan Presiden berupa “pembahasan persetujuan bersama” dalam fungsi legislasi. Dengan kewenangan yang begitu terbatas, DPD nyaris tidak punya peran fungsi legislasi.

Kondisi ini yang kemudian oleh sebagian orang dianggap sebagai bentuk soft bicameralism. Merujuk pada Sartori (1997), bikameralisme bisa dibedakan menjadi tiga. Pertama, sistem bikameral yang lemah (asymmetric bicameralism, weak bicameralism, atau soft bicameralism), yaitu apabila kekuatan salah satu kamar jauh lebih dominan atas kamar lainnya. Kedua, sistem bikameral yang kuat (symmetric bicameralism atau strong bicameralism), yaitu jika kekuatan kedua kamar nyaris seimbang. Ketiga, sistem bikameralisme sempurna (perfect bicameralism) yaitu apabila kekuatan antara kedua kamar betul-betul seimbang.

Dalam hubungan dengan tiga model tersebut, Indrayana (2005) berpendapat bahwa weak/soft bicameralism sebaiknya dihindari karena tidak sejalan dengan tujuan bikameralisme itu sendiri yaitu sifat saling kontrol di antara kedua kamarnya. Di sisi lain, perfect bicameralism bukan pula pilihan ideal karena kekuasaan yang terlalu seimbang berpotensi menyebabkan kebuntuan tugas-tugas parlemen. Pilihan paling tepat adalah strong bicameralism dengan membagi kewenangan di antara kedua kamar sekaligus menghindari dominasi satu atas lainnya.

Perdebatan soal ketimpangan fungsi legislasi antara dua kamar –di banyak negara biasanya dibedakan atas Majelis Tinggi dan Majelis Rendah—bukanlah isu baru. Ketimpangan tersebut biasanya disiasati dengan memberi semacam “kompensasi” kepada salah satu majelis yang kewenangannya lebih rendah. Jika hak mengajukan RUU hanya ada pada satu majelis, maka majelis yang lain berhak mengubah, mempertimbangkan, atau menolak draf tersebut.

Pengaturan mengenai kedudukan dan fungsi DPD sungguh membingungkan bila dilihat dari konteks lembaga tersebut sebagai parlemen. Seterbatas apapun wewenang DPD, seharusnya ia tetap dilihat sebagai sebuah parlemen atau bagian dari parlemen bikameral. Oleh karena itu, alih-alih mengakui soft bicameralism sebagai konsep untuk menjelaskan posisi DPD saya lebih suka menyebutnya dengan Bikameralisme Banci!

Walaupun MK telah mengeluarkan keputusan terkait kesetaraaan antara DPD dengan DPR, namun hal tersebut belum terakomodir dalam UU MD3 yang baru yaitu UU Nomor 17 Tahun 2014. Jika jalur lobby tidak berhasil untuk merevisi produk hukum terbaru tersebut, bukan tidak mungkin DPD akan kembali mengajukan judicial review ke MK. Akan tetapi sulit juga kalau DPR keras kepala mengabaikan. Mau sampai kapan terus begini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun