![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/06/26/143529207911007221080.jpeg?v=600&t=o?t=o&v=555)
Soft Bicameralisme atau Bikameralisme Banci?
Sekilas, keberadaan DPD dan DPR menyiratkan penerapan sistem bikameralisme dalam legislatif di Indonesia. Akan tetapi, ketimpangan kewenangan sangat kentara di antara keduanya. Dengan frase “dapat mengajukan”, “ikut membahas”, dan “memberikan pertimbangan” sebagaimana dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) UUD 1945 sangat tidak sebanding dengan wewenang DPR dan Presiden berupa “pembahasan persetujuan bersama” dalam fungsi legislasi. Dengan kewenangan yang begitu terbatas, DPD nyaris tidak punya peran fungsi legislasi.
Kondisi ini yang kemudian oleh sebagian orang dianggap sebagai bentuk soft bicameralism. Merujuk pada Sartori (1997), bikameralisme bisa dibedakan menjadi tiga. Pertama, sistem bikameral yang lemah (asymmetric bicameralism, weak bicameralism, atau soft bicameralism), yaitu apabila kekuatan salah satu kamar jauh lebih dominan atas kamar lainnya. Kedua, sistem bikameral yang kuat (symmetric bicameralism atau strong bicameralism), yaitu jika kekuatan kedua kamar nyaris seimbang. Ketiga, sistem bikameralisme sempurna (perfect bicameralism) yaitu apabila kekuatan antara kedua kamar betul-betul seimbang.
Dalam hubungan dengan tiga model tersebut, Indrayana (2005) berpendapat bahwa weak/soft bicameralism sebaiknya dihindari karena tidak sejalan dengan tujuan bikameralisme itu sendiri yaitu sifat saling kontrol di antara kedua kamarnya. Di sisi lain, perfect bicameralism bukan pula pilihan ideal karena kekuasaan yang terlalu seimbang berpotensi menyebabkan kebuntuan tugas-tugas parlemen. Pilihan paling tepat adalah strong bicameralism dengan membagi kewenangan di antara kedua kamar sekaligus menghindari dominasi satu atas lainnya.
Perdebatan soal ketimpangan fungsi legislasi antara dua kamar –di banyak negara biasanya dibedakan atas Majelis Tinggi dan Majelis Rendah—bukanlah isu baru. Ketimpangan tersebut biasanya disiasati dengan memberi semacam “kompensasi” kepada salah satu majelis yang kewenangannya lebih rendah. Jika hak mengajukan RUU hanya ada pada satu majelis, maka majelis yang lain berhak mengubah, mempertimbangkan, atau menolak draf tersebut.
Pengaturan mengenai kedudukan dan fungsi DPD sungguh membingungkan bila dilihat dari konteks lembaga tersebut sebagai parlemen. Seterbatas apapun wewenang DPD, seharusnya ia tetap dilihat sebagai sebuah parlemen atau bagian dari parlemen bikameral. Oleh karena itu, alih-alih mengakui soft bicameralism sebagai konsep untuk menjelaskan posisi DPD saya lebih suka menyebutnya dengan Bikameralisme Banci!
Walaupun MK telah mengeluarkan keputusan terkait kesetaraaan antara DPD dengan DPR, namun hal tersebut belum terakomodir dalam UU MD3 yang baru yaitu UU Nomor 17 Tahun 2014. Jika jalur lobby tidak berhasil untuk merevisi produk hukum terbaru tersebut, bukan tidak mungkin DPD akan kembali mengajukan judicial review ke MK. Akan tetapi sulit juga kalau DPR keras kepala mengabaikan. Mau sampai kapan terus begini?