Kita sepertinya memang paranoia terhadap gagasan negara federal. Sekadar membayangkan saja seolah menjadi dosa besar. Bayang-bayang kelam kegagalan Republik Indonesia Serikat terus menghantui. Sehingga NKRI (baca: negara kesatuan) menjadi harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dalam prakteknya, sistem ketatanegaraan kita lebih bercorak federalisme alih-alih negara kesatuan.
Otonomi luas, pemilihan kepala eksekutif daerah secara langsung (pilkada) biasanya hanya ada di negara-negara yang berbentuk uni atau serikat. Tapi, Indonesia menerapkannya. Satu ciri lain yang melekat adalah keberadaan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) di legislatif pusat. Sangat mirip dengan Senat di Amerika Serikat.
Di negeri Paman Sam itu, Kongres (Parlemen) terdiri atas Senat dan House of Representative. Senat adalah representasi negara bagian, sedangkan HoR mewakili partai politik. Keduanya punya kedudukan yang sejajar. Dalam beberapa aspek, Senat malah punya kewenangan lebih besar. Tidak heran kalau jabatan Senator kerap dipandang sebagai ‘batu loncatan’ menuju jabatan presiden.
Meski begitu, Senat tidak mutlak hanya boleh ada di negara federal. Bagir Manan bahkan pernah mengatakan tidak relevan jika bikameralisme diidentikkan dengan bentuk negara ataupun sistem pemerintahan tertentu. Filosofinya, kehadiran dua kamar dalam parlemen (bikameral) adalah keniscayaan untuk menjamin check and balances.
Pada negara federal keberadaan Senat memang sangat vital guna menjamin kepentingan negara bagian tidak dikesampingkan begitu saja. Sedangkan di Indonesia, pemerintah daerah sejatinya sudah diberikan keleluasaan dalam mengurus daerahnya melalui otonomi luas. Urusan absolut yang dipegang pusat terbatas hanya pada pertahanan, keamanan, agama, yustisi atau peradilan, moneter dan fiskal nasional serta politik luar negeri.
Perbedaan potensi masing-masing wilayah pada akhirnya membuat otonomi daerah di Indonesia melahirkan disparitas antar daerah. Pada titik ini kehadiran pemerintah pusat menjadi penting. Salah satunya melalui kebijakan dana perimbangan (Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus), serta mekanisme dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Bahkan sebagian besar daerah masih mengandalkan dana dari pusat sebagai proporsi terbesar dalam pos pendapatan di APBD-nya. Secara kumulatif jumlahnya mencapai 63,49% dari seluruh APBD se-Indonesia. Nilai transfer dari pusat ke daerah juga terus meningkat. Grafik di bawah ini merangkum fakta tersebut.
Poin yang ingin saya tekankan di sini adalah bahwa di balik keberadaannya yang cukup vital, eksistensi DPD justru masih kurang dihargai setidaknya dilihat dari dua aspek. Pertama, belum ada kesetaraan kewenangan, fungsi dan peran antara DPD dengan DPR. Kedua, dari sisi masyarakat sendiri masih banyak yang belum mengenal DPD. Bahkan mungkin rakyat tak bisa membedakan kedua wakilnya itu (DPD dan DPR).
Satu-satunya cara efektif agar DPD semakin dikenal adalah dengan memperkuat peran lembaga ini dalam legislatif di Indonesia. Agenda mendesaknya adalah menyeimbangkan kekuatan antara DPD dan DPR. Di saat skeptisme publik terhadap DPR demikian rendah, DPD memiliki potensi besar untuk menjadi wakil rakyat sebagaimana diharapkan konstituennya. Independensi Senator jelas lebih menjanjikan ketimbang anggota legislatif dari DPR yang punya ‘tanggung jawab’ kepada partainya.
Selamat berjuang, Senator!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H