Saratri Wilonoyudho, guru besar Universitas Negeri Semarang, dalam Opini di Kompas 11 Mei 2015, menyebutkan kota-kota besar di Tanah Air saat ini tidak nyaman lagi dihuni. Masalah keamanan, kebersihan, ataupun kemacetan dan pelayanan publik lainnya menjadi momok bagi warga kota. Problematika ini tidak akan bisa selesai jika mengandalkan langkah konvensional seperti selama ini. Konsep kota cerdas bisa jadi tawaran alternatif dalam mencari solusi masalah perkotaan.
Gagasan tentang kota cerdas sedang jadi tren. Setiap kota seolah berlomba mengklaim sebagai kota cerdas, kota pintar, cyber city, digital city, dan nama-nama lainnya. Sejalan dengan hal tersebut, Kompas bersama PGN dan ITB melansir program Indeks Kota Cerdas 2015. IKCI dimaksudkan untuk mengukur tingkat kematangan kota-kota dalam menerapkan konsep kota cerdas.
Ruang lingkup pengukuran IKCI dititikberatkan pada tiga aspek, yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Selain itu, ada tiga faktor pendukung yang dipertimbangkan. Pertama, teknologi informasi dan komunikasi. Kedua, tata kelola. Ketiga, sumber daya manusia. Hasil IKCI akan menggambarkan peringkat kota berdasarkan penerapan konsep kota cerdas di daerah masing-masing sekaligus mengukur tingkat kematangan kota dengan membandingkan kondisi suatu daerah dengan kondisi ideal.
Dari jumlah 98 kota di Indonesia, 93 di antaranya akan diikutsertakan di IKCI 2015. Kok, Cuma 93? Ya, lima kota di Provinsi DKI Jakarta tidak diikutsertakan karena bukan daerah otonom melainkan hanya kota administratif.
Pertimbangan Kompas-PGN-ITB terkait hal ini cukup masuk akal. Adalah tidak fair membandingkan kota-kota di Jakarta dengan kota lain yang merupakan daerah otonom. Struktur kelembagaan dan kewenangannya jelas tidak kongruen. Seorang wali kota di Jakarta yang ‘cuma’ kepanjangan tangan gubernur, tentu tidak memiliki keleluasaan mengatur kota selayaknya wali kota di daerah lain.
Jadi, bisa dipastikan saat IKCI 2015 nanti diumumkan kita tak akan mendapati Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Selatan dan Jakarta Timur sebagai salah satu kota cerdas. Peluang mutlak dimiliki kota di luar Jakarta. Tapi, apakah lantas kita bisa menarik kesimpulan bahwa Jakarta bukan kota cerdas?
Basuki Tjahaja Purnama pasti akan marah besar apabila klaim ini sampai ia dengar. Tahu sendiri kan, Ahok paling gemar berbicara tentang e-government, e-budgeting, e-procurement dan program-program lain yang merupakan penerapan teknologi informasi dalam pemerintahan. Belum lama ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga merilis program Smart City. Salah satunya adalah Qlue, aplikasi di android yang dimanfaatkan sebagai media penyampaian aspirasi publik. Kehebatan program ini adalah warga bisa langsung melaporkan kejadian, peristiwa atau aduan apapun secara langsung dengan mengunggah foto dan geo-tag lokasi.
Qlue terhubung dengan aplikasi lain yaitu CROP (Cepat Respon Opini Publik). Kalau Qlue diperuntukkan bagi warga, CROP adalah aplikasi yang didesain untuk aparat Pemprov DKI Jakarta dan kepolisian.
Aparat diwajibkan menindaklanjuti semua laporan sesuai dengan bidang tanggung jawabnya. Setiap progress tindak lanjut laporan tersebut bisa dimonitor langsung di Qlue serta di website smartcity.jakarta.go.id
Andai saja Jakarta diikutsertakan dalam IKCI, apakah program-program itu cukup untuk memboyong gelar sebagai kota cerdas? Sepertinya tidak, Jakarta belum menjadi smart city.
“Kota cerdas bukan semata soal otomatisasi, ICT dan gadget. Jadi, tak ada jaminan bahwa kota yang memiliki e-procurement, e-government, e-budgeting dan e-e (baca: i-i) lainnya adalah sebuah kota yang cerdas,” demikian lugas Adi Munandir , perwakilan dari Perusahaan Gas Negara (PGN) dalam acara Kompasiana Nangkring bertajuk “Indeks Kota Cerdas Indonesia (IKCI) 2015”, Sabtu (25/4, di Kafe Pisa Mahakam, Jakarta Selatan.
Jakarta hanya terjebak pada upaya mengejar mimpi menjadi digital city alih-alih smart city. Sekilas keduanya serupa padahal tak sama. Konsep smart city titik tolaknya justru berangkat dari individu dan human capital dalam upaya transformasi dan meningkatkan kualitas kotanya daripada hanya mengandalkan IT sebagai proses otomatisasi. Pendapat lain menyatakan :
“In a broader definiton, a city can be considered as ‘smart’ when its investment in human and social capital and in Communications infrastructure a actively promote sustainable economic development and a high quality of life, including the wise management of natural resources through participatory government” (Caraglin et al, 2009).
Secanggih apapun sistem TI yang digunakan, menjadi tak berarti apabila warga tidak cukup “cerdas” untuk terlibat aktif dalam membangun kotanya.Walaupun dipastikan tidak ambil bagian –dan otomatis tidak mungkin dapat predikat kota cerdas berdasarkan IKCI—Jakarta masih berpeluang untuk menjadi kota (baca: provinsi) cerdas. Syaratnya, Pemprov DKI Jakarta harus mengubah cara pandangnya tentang smart city untuk tidak melulu terfokus pada soal penggunaan TI. Keterlibatan masyarakat juga hendaknya tidak terbatas pada melaporkan masalah (seperti di Qlue), tetapi juga ikut membantu memikirkan atau bahkan menyelesaikan persoalan.
Wallahu alam bishawab,
Joglo, 25 Mei 2015
*NB : karena Jakarta sudah dipastikan tidak menjadi kota cerdas versi IKCI 2015, maka saya jagokan Kota Pekalongan sebagai salah satu kandidat peraih gelar Kota Cerdas. Ulasan lengkapnya bisa teman-teman Kompasianer baca di link berikut ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H