Orang Betawi saat ini bukan lagi mayoritas di Jakarta. Ironisnya, sekarang ada tokoh betawi yang justru mau mengusir kaumnya sendiri dari ibukota.
“Saya mengingatkan kepada kaum Betawi, tidak ada pilihan lain, selain satu untuk semua. Silakan keluar dari Betawi jika tidak memilih orang Betawi,” ujar salah seorang tokoh dalam acara Lebaran Betawi 1433 H, di Kelapa Gading, Senin (10/9).
Pasangan tokoh tersebut di pilkada Jakartapun segendang sepenarian. Beliau menimpali dengan kalimat yang tak kalah intimidatif. “Saya nggak percaya orang Betawi nggak kompak. Tetapi kalau memang ada yang nekat, kasih tahu saya. Nanti saya cabut KTP-nya,” sebut tokoh yang terkenal dengan kumisnya itu.
Entah maksudnya serius atau bercanda, pernyataan tersebut amat tidak pantas. Apalagi jika dilihat siapa yang berbicara. Seorang tokoh senior betawi sepatutnya bisa lebih menghargai saudara-saudaranya sendiri. Bagaimana mungkin ia bisa mengayomi seluruh warga Jakarta yang heterogen, jika sedari awal sudah menunjukkan sikap tidak bersahabat justru kepada kaumnya sendiri.
Sejarah Kaum Betawi di Jakarta
Nasib sebagai kaum marginal sudah cukup lama dirasakan etnis betawi. Dengan dalih pembangunan, rezim berkuasa di masa lalu sering melakukan penggusuran. Lama kelamaan, orang betawi terus terdesak hingga akhirnya menepi ke pinggiran Jakarta seperti Tangerang, Bogor, Depok dan Bekasi.
Kalaupun secara fisik tidak tergusur, orang betawi yang bertahan di Jakarta termarginalkan secara sosial ekonomi. Kaum pribumi ini lebih sering menjadi ‘penonton’ di kampungnya sendiri. Boleh jadi penyebabnya adalah lemahnya daya saing sebagian orang betawi. Tapi tak bisa dipungkiri betapa tidak ada keberpihakan dari pemerintah terhadap mereka.
Keterbukaan merupakan sifat dasar orang betawi. Jangan heran jika kaum pribumi batavia amat toleran. Bahkan, sistem kebudayaan orang betawi sendiri merupakan hasil akulturasi dari budaya-budaya lain yang tumbuh dan berkembang bersama di Jakarta. Saking tolerannya, budaya betawi perlahan tergerus oleh roda kemajuan zaman.
Sikap Politik Orang Betawi: Haruskah Memilih Suku Betawi?
Pernyataan dua orang tokoh dalam acara Lebaran Betawi tersebut tentu saja erat kaitannya dengan konteks pilkada Jakarta. Kurang dari sepuluh hari lagi pilkada putaran kedua akan digelar. Mereka berdua tentu saja berkepentingan untuk meraup dukungan sebanyak-banyaknya demi membalikkan keadaan di putaran pertama.
Sebenarnya, seberapa signifikankah suara orang betawi dalam pilkada? Data hasil sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan bahwa betawi bukanlah mayoritas di Jakarta. Jumlah orang betawi diperkirakan 27,65 % dari jumlah populasi. Di Jakarta, etnis terbesar justu Jawa dengan jumlah sekitar 35 % dari populasi.
Angka 27 % di tahun 2000 tentu sudah berubah saat ini. Jangan lupakan pula bahwa tidak semuanya memiliki hak suara, karena jumlah tersebut adalah akumulasi semua usia. Jika kita asumsikan 15% saja jumlah orang betawi di Jakarta, maka signifikansinya tidaklah terlalu besar.
Apalagi ternyata, tidak semua orang betawi memilih pasangan calon pribumi. Hasil Exit Poll yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia pada pilkada 11 Juli lalu menunjukkan fenomena tersebut. Dari seluruh responden yang disurvei, sampel responden betawi hanya 48 % yang memilih duet calon lokal. Bahkan ada 28% sampel yang menyeberang ke kubu ‘pendatang’. (lihat tabel di bawah ini).
[caption id="attachment_205372" align="aligncenter" width="579" caption="Basis Dukungan berdasarkan Etnis (sumber: Exit Poll LSI)"][/caption]
Jika menengok sejarah ke belakang, orang betawi juga tidak memiliki catatan fanatisme sempit, khususnya dalam memilih pemimpin. Di pilkada 2007 memang semangat etnisitas sempat menguat, hingga akhirnya untuk pertama kali seorang betawi terpilih menjadi Gubernur Jakarta.
Tapi sebelumnya, orang betawi tidak pernah mempermasalahkan berasal dari suku apapun gubernur berasal. Memang, sebelum 2007 hak menentukan gubernur bukan ada di tangan rakyat. Namun setidaknya, bisa dilihat dari bagaimana sikap atau penerimaan orang betawi terhadap kepala daerah. Orang betawi juga tidak mempermasalahkan penyebutan ‘Bang Yos’ padahal jelas-jelas Sutiyoso adalah orang Jawa. Demikian juga dengan Ali Sadikin yang justru lebih populer dengan panggilan Bang Ali.
Oleh karena itu, pernyataan tendensius dan intimidatif dari seorang tokoh betawi beberapa hari lalu amat disayangkan. Mereka seolah tidak menghargai bahwa orang betawi pun memiliki hak yang sama dengan suku-suku lain dalam menentukan sikap politiknya. Mereka bebas dan merdeka untuk memilih siapapun calon gubernur yang hendak didukung.
Pernyataan tersebut bukan tidak mungkin malah melahirkan ketersinggungan, dan akhirnya menjadi antipati, lantas diwujudkan dalam bentuk pemberian suara terhadap pasangan lain.
Makanya, hati-hati kalo bicara. Ingat pepatah lawas: mulutmu harimaumu.. :p
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H