Victoria Azarenka sedang di puncak dunia. Setelah berhasil menjuarai Australian Open 2012, petenis berusia 22 tahun ini menduduki peringkat satu WTA. Tapi, sepertinya tahta tersebut tidak akan lama dikuasainya. [caption id="attachment_159385" align="aligncenter" width="300" caption="Awal Tahun yang Sempurna bagi Azarenka"][/caption] Azarenka mencatat sejarah sebagai orang Belarusia pertama yang menjadi petenis nomor satu. Ia juga menjadi satu-satunya petenis yang menjadi nomor satu tanpa pernah merasakan menjadi nomor dua. Posisi terakhir Azarenka adalah di peringkat tiga dunia. Ia melangkahi Petra Kvitova berkat tambahan 2.000 poin di Melbourne Park. Catatan karier Azarenka memang belum terlalu mentereng. Sebelum menjuarai Australia Open, pencapaian tertingginya hanyalah semifinal Wimbledon 2011. Selain itu, hanya 10 gelar juara WTA Tour yang pernah ia koleksi. Tapi, kepantasannya menjadi rangking satu tidak perlu diperdebatkan. Setidaknya, ia meraihnya setelah menjuarai Grand Slam. Bandingkan dengan dua petenis nomor satu dunia sebelumnya, Caroline Wozniacki dan Dinara Safina. Keduanya sama-sama tak pernah mengecap gelar Grand Slam. Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah seberapa lama Azarenka mampu mempertahankan singgasananya? Dalam beberapa tahun terakhir, pergeseran tahta terjadi relatif sering. Tidak ada lagi petenis yang begitu dominan seperti saat Steffi Graf, Martina Navratilova, atau Lindsay Davenport menguasai rangking satu. Martina Hingis pernah digadang-gadang sebagai calon ratu tenis dunia. Cedera akhirnya menggerogoti gadis cantik asal Swiss itu. Nasib yang hampir serupa juga menimpa Justine Henin dan Kim Clijsters. Sementara itu, Wiliams bersaudara (Venus dan Serena) meski memiliki potensi sangat baik tapi kerap tampil inkonsisten. Persaingan di sektor putri memang lebih ketat dibanding di sektor putra. Dalam beberapa tahun terakhir persaingan di putra praktis hanya mengerucut pada nama Roger Federer dan Rafael Nadal. Belakangan ini, Novak Djokovic mulai mencuat mendobrak dominasi dua nama terdahulu. Boleh dibilang jika tahun 2011 adalah milik Djokovic, di mana dia berhasil menyabet tiga gelar Grand Slam. Selain tiga petenis tersebut, hanya Murray yang sempat mencicipi final grand slam tahun lalu (di Australia Open). Hal sebaliknya terjadi di putri, di mana dalam empat turnamen Grand Slam selalu menghasilkan pasangan finalis dan juara yang berbeda. Di Australia Open, Clijsters menjadi yang terbaik setelah mengandaskan Li Na. Sementara Li Na sukses menjuarai France Open mengalahkan Francisco Schiavone. Gelar juara Wimbledon menjadi milik Petra Kvitova dengan menyudahi perlawanan Maria Sharapova. US Open sebagai penutup tahun berhasil dimenangi oleh Samanta Stosur. Konsistensi sepertinya menjadi musuh besar para petenis putri. Beberapa di antara mereka memang cukup konsisten, sebut saja Wozniacki dan Safina. Berkat hasil konsisten yang mereka raih sepanjang musim, dua petenis ini bisa merasakan sensasi menjadi rangking satu. Tapi, baik Safina maupun Wozniacki sama-sama tidak memiliki senjata maut yang bisa diandalkan saat dibutuhkan di turnamen Grand Slam. Sementara petenis-petenis tangguh seperti Serena Williams dan Clijsters selalu dihadapkan pada dua persoalan, cedera dan inkonsistensi. [caption id="attachment_159387" align="alignleft" width="300" caption="Lenguhan Azarenka menjadi magnet bagi penonton"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H