Polemik terkait Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (R-APBD) Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015 tak kunjung mereda. Kubu eksekutif maupun legislatif telah memilih jalannya masing-masing. Keduanya mengklaim membela rakyat.
[caption id="attachment_371136" align="aligncenter" width="300" caption="Foto: Cover Koran Tempo 3 Maret 2015"][/caption]
Rapat paripurna DPRD DKI Jakarta pada Kamis (26/2) pekan lalu menandai episode baru konflik antara legislatif dengan eksekutif. Para wakil rakyat sepakat untuk menggunakan hak angket terhadap dugaan penyimpangan prosedur pengusulan R-APBD 2015 oleh gubernur.
Tak mau kalah, Ahok semakin gencar mengumbar aib dewan. Ia terang-terangan menuding DPRD sebagai maling uang rakyat. Sejumlah rincian anggaran yang disinyalir merupakan permainan oknum legislatif dibuka ke publik. Bukan cuma pengadaan UPS ke sejumlah sekolah, kelurahan dan kecamatan saja yang bikin heboh, selain itu masih banyak kegiatan yang mengada-ada. Misalnya, pengadaan mebel dan scanner senilai Rp. 20 miliar di kantor BPAD Provinsi DKI Jakarta, pengadaan sarana panjat tebing di Rusunawa Tambora senilai Rp.200 juta, dan masih banyak lainnya. Wajar saja kalau diakumulasikan mencapai 12 triliun!
Di tengah-tengah derasnya dukungan untuk Ahok, tidak sedikit pula yang berprasangka buruk pada Sang Gubernur. Ahok dianggap memanfaatkan dukungan publik untuk kepentingan politiknya. Dengan kata lain, Ahok sedang mengadu domba antara rakyat dengan wakil rakyat (baca: DPRD).
Dalam tulisan ini, saya berusaha menjawab beberapa pertanyaan dari kritikus. Tentu saja jawaban dalam tulisan ini tidak merepresentasikan institusi manapun. Data dan informasi yang digunakan pun terbatas pada yang didapat dari penelusuran media maupun pengalaman pribadi selama ini.
1.Mengapa Ahok Mengirimkan R-APBD 2015 yang Berbeda dari Hasil Kesepakatan dengan DPRD?
Seharusnya, draf APBD yang dikirim ke Kemendagri adalah hasil kesepakatan antara eksekutif dan legislatif. Di sanalah mekanisme check and balances bekerja. Ada juga yang heran kenapa Ahok menyatakan sepakat saat paripurna pembahasan R-APBD tapi kemudian malah mengirimkan dokumen berbeda ke Kemendagri.
Masalahnya, ada praktek mafia yang bekerja sehingga anggaran siluman bisa muncul. Untuk bisa mendapatkan gambaran lebih jelas, berikut saya sarikan penelusuran rekan jurnalis Koran Tempo, sebagaimana dimuat dalam headline mereka hari ini :
Seorang pejabat yang mengetahui proses penganggaran, kepada Tempo, mengungkapkan, APBD versi Dewan datang pada 10 Februari lalu. Pejabat itu heran terhadap isi draf karena ditemukan 4.800 kegiatan baru, termasuk pengadaan buku trilogi Ahok senilai R.30 miliar. Total dana untuk seluruh kegiatan itu sebesar Rp. 12 triliun.
Dokumen R-APBD versi DPRD itu sendiri berakhir di meja kerja Ahok. Mengapa? Karena sejak 4 Februari, eksekutif telah mengirimkan R-APBD 2015 kepada Kemendagri.
2.Mengapa Tidak Digagalkan Eksekutif Saat Pelaksanaan Anggaran?
Bagi orang dalam (baca: PNS Provinsi DKI Jakarta) pasti sudah mafhum betul praktek nakal seperti ini. Saat menerima salinan APBD yang disahkan, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) akan dibuat kaget karena muncul banyak kegiatan yang sebelumnya tidak diusulkan. Di masa lalu, boleh jadi kongkalikong ini terjadi dua arah. Artinya, dana siluman tidak sepenuhnya di luar sepengetahuan SKPD. Mengapa? Dulu, jabatan struktural di eksekutif  tidak bebas dari campur tangan Kebon Sirih.
Sejak Jokowi dan Ahok masuk ke Balaikota, ruang gerak DPRD kian terbatas. Bagaimana mereka bisa ‘menanam’ orang sebagai pimpinan SKPD kalau jabatan tersebut dilelang secara terbuka? Kendati seleksi terbuka belum sepenuhnya efektif, setidaknya hak prerogatif gubernur dalam memilih pembantu-pembantunya tidak lagi direcoki dewan. Dengan begitu, para kepala dinas sekarang lebih berani ‘melawan’ DPRD. Tidak heran kalau penyerapan anggaran tahun lalu rendah, karena sejumlah SKPD tidak mau melaksanakan kegiatan-kegiatan titipan lagi.
Berkat e-budgeting, eksekutif bahkan kini bisa menjegal dari awal karena penginputan anggaran tidak lagi bisa dilakukan oleh siapa saja. Saya tidak tahu, apakah anggaran siluman yang diributkan Ahok itu sudah kadung masuk dalam e-budgeting atau belum? Kalau ternyata masuk, berarti ada orang dalam yang bermain. Ahok harus temukan siapa musuh dalam selimut.
Berkaca dari dilaksanakannya pengadaan UPS di sejumlah sekolah menggunakan APBD tahun lalu, dapat dikatakan bahwa di eksekutif sendiri belum steril.
3.DPRD Permasalahkan APBD 2015, Ahok Laporkan APBD 2014 ke KPK. Kok begitu?
Untuk R-APBD 2015 jelas belum ada tindakan koruptif, lho wong disahkan saja belum. Tapi, indikasi bahwa sejumlah anggaran akan dijadikan bancakan sudah sangat nyata. Sedangkan di APBD 2014 yang sudah dilaksanakan, dapat ditelusuri mana saja proyek-proyek titipan. Seperti disebutkan di atas, sebagian mungkin tidak dilaksanakan oleh SKPD, tapi ada juga yang tetap berjalan seperti misalnya pengadaan UPS di sekolah.
Dengan melaporkan dugaan tersebut ke KPK, Ahok mendapat dua manfaat sekaligus. Pertama, perang terbuka kepada DPRD bahwa tak ada lagi kompromi untuk APBD. Kedua, akan terungkap siapa oknum di Pemprov DKI Jakarta yang masih ‘main belakang’ dengan DPRD dalam mencuri uang rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H