Mohon tunggu...
Shendy Adam
Shendy Adam Mohon Tunggu... Dosen - ASN Pemprov DKI Jakarta

seorang pelayan publik di ibu kota yang akan selalu Berpikir, Bersikap, Bersuara MERDEKA

Selanjutnya

Tutup

Money

Waspada, Ledakan Pengangguran Gegara AFTA

13 Maret 2014   22:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:58 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah bukan waktunya lagi mempertanyakan kesiapan Indonesia menghadapi ASEAN Free Trade Area (AFTA). Siap ataupun tidak, kita tak bisa lari dari kenyataan penerapan perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara mulai 2015.

Waktu untuk berbenah tidak banyak, kurang dari setahun. Sayangnya, kita sedang disibukkan dengan pesta demokrasi di 2014 ini. Alih-alih menyiapkan langkah antisipatif, para pejabat dan politisi justru kasak-kusuk memikirkan nasib mereka pascapemilu.

Lihat saja kampanye-kampanye yang dilakukan para calon legislatif atau bahkan bakal calon presiden sekalipun, tiada yang secara serius bicara soal AFTA. Isu ini memang bisa menjadi bumerang bagi mereka lantaran sulit mencari jalan keluarnya. Sedemikian suramkah masa depan kita di era perdagangan bebas ini?

Secara normatif, AFTA bertujuan untuk meningkatkan daya saing kawasan dalam perdagangan internasional. AFTA merupakan anak kandung dari globalisasi, yang membuat lalu lintas perdagangan barang dan jasa serta perpindahan manusia semakin borderless atau hampir menihilkan batas-batas geografis.

Melalui penerapan AFTA, diharapkan Asia Tenggara menjadi basis produksi bagi pelbagai produk. Sasaran antaranya adalah meningkatnya investasi di kawasan ini. Oleh karena itu keunggulan komparatif menjadi amat penting. Pada titik ini, sesungguhnya AFTA tidak cuma menjadi wadah kerjasama tapi sekaligus membuka persaingan ketat di antara negara anggota.

Dari berbagai kemungkinan implikasi AFTA bagi Indonesia, tulisan ini akan dibatasi pada persoalan ketenagakerjaan. Masalah infrastruktur memang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan. Akan tetapi, menurut hemat penulis, aspek ketenagakerjaan lebih mendesak dipikirkan karena menyangkut ‘urusan perut’.

Dengan jumlah penduduk yang mencapai 40 persen dari seluruh warga Asia Tenggara, Indonesia jelas menjadi negara yang akan paling merasakan dampaknya. Apalagi, dengan tingkat pendidikan Sumber Daya Manusia (SDM) yang relatif rendah dibanding negara lain.

Sudah bukan rahasia lagi kalau tulang punggung sektor ketenagakerjaan di Indonesia justru terletak pada tenaga kerja tidak trampil. Sayangnya, tenaga kerja tidak profesional bukan termasuk yang dibebaskan bergerak dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN. Liberalisasi hanya berlaku untuk tenaga profesional, seperti dokter, arsitek, akuntan dan pengacara.

So, jangan heran jika dalam tahun-tahun mendatang kita akan terbiasa melihat tenaga-tenaga profesional asing bekerja di sini. Sebaliknya, para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) justru akan kesulitan mendapat pekerjaan di negara tetangga.

Saat ini saja kita sudah dihadapkan pada persoalan tingginya tingkat pengangguran terbuka yang mencapai 6,25 persen (Agustus 2013). BPS mencatat, angkatan kerja di Indonesia pada Agustus 2013 mencapai 118,2 juta orang.

Dari sumber yang sama kita dapati bahwa masih ada lebih dari 360 ribu orang sarjana yang menganggur di negeri kita. Angka yang sangat mencengangkan sekaligus memprihatinkan. Jika sekarang saja para sarjana sulit mencari kerja, apalagi saat nanti persaingan bertambah ketat dengan hadirnya tenaga profesional asing.

Tanpa ada kebijakan proteksi bagi tenaga kerja lokal, bayang-bayang tingginya penangguran terdidik akan semakin nyata oleh hadirnya tenaga kerja asing yang mempunyai skill dan pendidikan yang lebih baik. Di sisi lain, penerapan kebijakan protektif tidak sejalan dengan aturan main yang ditetapkan organisasi perdagangan internasional (WTO).

Ledakan pengangguran gegara AFTA adalah keniscayaan manakala Pemerintah tidak berhasil menemukan formulasi kebijakan untuk menyiasati hal ini. Mendorong sektor riil bisa menjadi solusi, asalkan produk yang dihasilkan memiliki kualitas sepadan atau lebih baik dengan komoditas sejenis dari luar negeri.

Tapi, rekam jejak Pemerintah kita selama ini sepertinya tidak menaruh perhatian memadai untuk sektor riil. Semoga saja Pemerintahan baru hasil pemilu tahun ini berani mengubah arah kiblat perekonomian nasional.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun