Mohon tunggu...
Shendy Adam
Shendy Adam Mohon Tunggu... Dosen - ASN Pemprov DKI Jakarta

seorang pelayan publik di ibu kota yang akan selalu Berpikir, Bersikap, Bersuara MERDEKA

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menyoal Proporsionalitas Peliputan Jokowi

12 Maret 2014   22:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:00 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Jabatannya cuma Gubernur DKI Jakarta. Tapi wajahnya lebih sering menyapa pemirsa televisi maupun pembaca surat kabar dan media online dibanding Presiden RI sekalipun.

Fenomena Joko Widodo sebagai sosok ‘kekasih media’ sudah terasa sejak beliau mengikuti pilkada Jakarta 2012. Setelah resmi terpilih sebagai gubernur ibukota, porsi pemberitaannya terus melonjak. Tidak heran jika popularitasnya menanjak. Ujung-ujungnya elektabilitas pun terdongkrak.

Jokowi diprediksi bakal mulus menduduki kursi RI-1, padahal partai tempat dia bernaung PDI Perjuangan belum mendeklarasikan pencapresannya. Saya sangat maklum jika akhirnya PDI Perjuangan jadi mengusung Jokowi di pilpres. Bagaimanapun juga, partai politik selalu berorientasi pada kekuasaan.

Yang menggelitik justru melihat media massa yang begitu gemes ingin menjadikan Jokowi sebagai presiden. Semoga saja mereka merepresentasikan suara rakyat, bukan kepentingan kelompok tertentu.

Sebuah akun anonim di social media terang-terangan menuding ada skenario di balik sedemikian massifnya pemberitaan terhadap Jokowi. Konon, ada pemodal besar yang ‘membiayai’ kebutuhan ini.

Jokowi sudah membantah tuduhan tersebut. "Bagaimana saya mau pencitraan, TV saja tidak punya, koran pun tidak punya," ujarnya di hadapan mahasiswa Universitas Paramadina, Rabu (19/2) beberapa waktu lalu.

Pernyataan Jokowi memang benar, dia tidak memiliki media. Tapi, dia sukses menjadi magnet bagi media untuk terus memberitakannya. Bagi media, sosok Jokowi memang memiliki news value yang tinggi. Di kalangan jurnalis, ada adagium ‘name make news’, nama membuat berita. Jokowi tak ubahnya selebritis.

Satu hal yang patut disayangkan, media terjebak semata pada sosok Jokowi bukan pada hal-hal substansial. Wajar jika kesan yang lebih terasa adalah pencitraan ketimbang pemberitaan. Pengamat politik dari LIPI, Siti Zuhro menilai media sudah tidak proporsional. Seharusnya, media juga memberitakan kelemahan-kelemahan Jokowi.

Jika benar tidak ada kepentingan pencitraan, para jurnalis seharusnya tidak sekadar membebek saat Jokowi blusukan. Mereka harus datang lagi ke lokasi blusukan tersebut beberapa kali, untuk kembali mewartakan ke publik seperti apa tindak lanjut anak buah Jokowi di lapangan. Dengan begitu, media juga berperan meringankan pekerjaan gubernur, karena beliau akan tahu bahwa ternyata arahannya sudah atau belum ditindaklanjuti oleh jajaran birokrasi.

Contoh lain yang menurut saya agak konyol adalah peliputan one day no car pada Jumat pekan pertama setiap bulannya. Pagi-pagi sekali para wartawan sudah berkumpul di depan rumah dinas Jokowi, di kawasan Taman Suropati. Lantas mereka memberitakan berbagai hal mulai dari keberangkatan sampai tiba di Balai Kota, yang biasanya Jokowi menggunakan sepeda. Begitu pun mengenai kepergian Wagub dari rumahnya di bilangan Pluit. Pak Ahok pernah menggunakan BKTB, dan Jumat kemarin akhirnya ikutan naik sepeda juga. Tapi, tak ada satupun media yang memberitakan kepulangan dua tokoh ini di sore hari. Terus terang saya sendiri penasaran. Walaupun saya kerja di Balai Kota, kebetulan tidak pernah melihat langsung saat mereka datang atau pulang.

Kita semua tahu Jumat sore adalah waktu yang paling ‘horor’ bagi pengendara kendaraan apapun di ibukota. Apa iya, gubernur dan wakil gubernur tetap naik sepeda ke rumahnya? Atau jangan-jangan malah naik mobil karena sopirnya sudah menyusul beberapa jam setelah keberangkatan.

Masih banyak ilustrasi lain yang menunjukkan kealpaan media dalam memberitakan Jokowi apa adanya. Jangan dimaknai bahwa media harus menyerang Jokowi, melainkan proporsional. Hal ini penting, karena sesungguhnya media memiliki peran penting dalam mewujudkan Jakarta Baru.

Media adalah pilar keempat demokrasi. Di saat rakyat semakin tidak percaya dengan Pemerintah (eksekutif) dan DPRD (legislatif) lantaran tidak terjadi mekanisme check and balances, maka media seharusnya bisa memainkan peran controlling dengan baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun