Mohon tunggu...
Shendy Adam
Shendy Adam Mohon Tunggu... Dosen - ASN Pemprov DKI Jakarta

seorang pelayan publik di ibu kota yang akan selalu Berpikir, Bersikap, Bersuara MERDEKA

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Blunder #1 Jokowi: Arsitektur Kabinet

16 September 2014   18:14 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:32 1792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14108407811241365160

Calon presiden terpilih Joko Widodo bersama cawapres Jusuf Kalla mengumumkan arsitektur kabinetnya, Senin (15/9) di Menteng, Jakarta. Apakah langkah ini tidak kepagian? Bukankah langkah Jokowi-JK ini menjadi blunder pertama, yang sayangnya sudah terjadi saat mereka bahkan belum dilantik.

[caption id="attachment_342954" align="aligncenter" width="476" caption="sumber foto: akun resmi FB Joko Widodo"][/caption]

Ada empat alasan yang bisa penulis kemukakan mengapa pengumuman rancang bangun kabinet Jokowi-JK sebagai sebuah blunder. Pertama, soal waktu dan momentum. Walaupun sudah dinyatakan sebagai pemenang pilpres, bagaimanapun juga Jokowi belum menjadi presiden. Jokowi akan resmi menjadi presiden tepat pada pelantikan tanggal 20 Oktober nanti. Penulis sama sekali tidak berpretensi mengatakan pelantikan Jokowi masih mungkin gagal –seperti halnya keinginan sebagian politisi Koalisi Merah Putih—akan tetapi sebagai manusia kita tidak boleh mendahului takdir. Apa pun bisa terjadi tanpa kita ketahui sebelumnya.

Selain itu, Republik Indonesia sampai hari ini masih memiliki Pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Presiden bernama Susilo Bambang Yudhoyono. Roda pemerintahan masih berjalan di berbagai kementerian/lembaga (K/L). Pengumuman dari Jokowi-JK tentang rencananya melakukan ‘bongkar pasang’ kabinet berpotensi menimbulkan kegalauan dan kegamangan, bukan hanya oleh pejabat struktural melainkan bagi seluruh pegawai di K/L. Presiden SBY pun mungkin saja tersinggung dengan tindakan Jokowi-JK. Jika benar begitu, tentu kontraproduktif bagi upaya Jokowi-JK yang masih berharap bisa menggandeng Partai Demokrat sebagai mitra koalisi.

Manakala Jokowi-JK menyampaikan gagasan-gagasannya secara spontan dan tidak resmi, mungkin efeknya tidak akan terlalu terasa. Namun dengan momentum konferensi pers –meski kental informalitas—perhatian publik dan pengamat menjadi tertuju ke sana. Boleh jadi ini memang bagian dari strategi Jokowi-JK mencuri perhatian, terutama menggoda partai-partai Koalisi Merah Putih untuk berpaling ke mereka. Mengapa bisa begitu?

Kita masuk ke alasan kedua, dikotomi yang membingungkan. Secara umum, Jokowi menyampaikan rancang bangun kabinetnya kelak tidak akan banyak berubah setidaknya dari segi jumlah yang tetap 34 kementerian. Bahwa ada perubahan nomenklatur, penggabungan dan pembentukan kementerian baru belum disebutkan secara detail. Satu hal yang paling menyita perhatian publik justru soal komposisi kabinet. Jokowi menyebutkan kabinetnya kelak akan diisi oleh 18 orang profesional dan 16 orang profesional partai. Nah lho, dikotomi model apa pula ini?

Terus terang saya kehabisan kata-kata untuk berkomentar saat mendengar langsung Jokowi menyampaikan pernyataan itu di televisi. Dalam benak saya dan mungkin bagi banyak orang, profesional memiliki antonim (lawan kata) amatir. Akan lebih tepat kalau Jokowi menggunakan dikotomi partai dan nonpartai, tanpa embel-embel profesional. Tapi, pemilihan frasa ‘profesional partai’ dalam penyampaian Jokowi menjadi penting untuk menekankan dirinya akan memilih the right man on the right place.

Masalahnya, saya tidak terlalu yakin Jokowi-JK bisa menemukan 16 orang representasi partai politik yang memenuhi kualifikasi profesional. Siapa sih nama-nama yang bisa dinominasikan dari partai-partai pendukung Jokowi-JK (PDIP, PKB, Hanura dan PKPI) yang masuk kriteria? Saya enggan menyebut nama karena takut dibilang pencemaran reputasi seseorang, namun kok ya rasanya miris membayangkan tokoh-tokoh dari keempat partai pendukung akan masuk dalam kabinet yang digembar-gemborkan profesional itu.

Pada titik ini pula kita bisa membaca upaya Jokowi-JK menggoda partai dari luar koalisinya kalau masih mau berubah pikiran. Jatah 16 menteri tentu tidak sedikit untuk dibagi-bagi. Apalagi saat ini baru ada empat partai yang tergabung. Komposisinya pun boleh jadi tidak akan dibagi rata melainkan berdasarkan proporsi perolehan suara di pilpres atau jumlah kursi di parlemen. Maka, ini sekaligus menjadi alasan ketiga saya menyebut Jokowi-JK melakukan blunder yaitu soal koalisi tanpa syarat.

Kita semua tahu komitmen Jokowi-JK untuk membangun koalisi yang ‘sehat’, yaitu yang tidak berdasarkan asas politik dagang sapi alias transaksional. Saya sangat kagum dan senang saat gagasan ini pertama kali dilontarkan. Jika terealisasi maka sekaligus akan sedikit meluruskan kekeliruan selama ini soal relasi eksekutif-legislatif dan soal sistem presidensial murni. Dengan pengumuman yang disampaikan kemarin, hancur sudah harapan saya menyaksikan perubahan kecil namun penting bagi negeri ini.

Alasan terakhir atau keempat adalah struktur kabinet. Sebetulnya tidak ada yang salah dengan jumlah 34 kementerian yang direncanakan Jokowi-JK. Undang-undang yang mengatur memang menetapkan angka tersebut sebagai batas atas. Rezim SBY saat ini juga memiliki kuantitas yang sama. Padahal peluang untuk merampingkan sejumlah kementerian masih dimungkinkan. Kementerian Perdagangan, Perindustrian, Koperasi dan UKM seharusnya bisa dimerger agar bisa berjalan simultan tanpa overlapping. Beberapa kementerian lain yang nyaris tidak terdengar kinerjanya juga bisa dipertimbangkan untuk dimerger saja agar lebih efisien.

Selentingan yang beredar menyebutkan kalau Jokowi pada prinsipnya sepakat dengan perampingan kabinet, namun JK mengambil posisi berseberangan. Menurut JK, jika ingin kabinet bisa langsung bekerja maka sebaiknya tidak banyak dilakukan perubahan. Padahal, dengan begitu sama artinya dengan mengerdilkan semangat revolusi yang digelorakan. Untuk mengatasi persoalan bangsa yang centang perenang memang tidak bisa dengan cara business as usual, dan harus siap ambil risiko.

Dengan keempat alasan yang sudah disampaikan di atas, sekali lagi penulis ingin menyayangkan langkah gegabah Jokowi-JK. Tapi, kita masih boleh optimis karena untungnya Jokowi-JK belum dilantik. Artinya, masih cukup waktu bagi pasangan itu untuk berubah pikiran dan memperbaiki rancang bangun yang sudah ada sekarang. Penulis juga berharap Jokowi-JK membuktikan janjinya untuk lebih banyak mendengar suara atau aspirasi rakyat untuk selanjutnya diimplementasikan dalam kebijakan yang juga pro rakyat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun