Mohon tunggu...
T Hindarto
T Hindarto Mohon Tunggu... -

Peminat Kajian Teologi, Sejarah dan Fenomena Sosial

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

NYAI DAN PERGUNDIKAN: REALITAS SOSIAL DI ERA KOLONIALISME

28 September 2015   22:31 Diperbarui: 30 September 2015   22:15 1105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam sebuah percakapan dengan Annelies, tokoh Minke bertanya: “Apa pekerjaanmu sesungguhnya?” “Semua, kecuali pekerjaan kantor. Mama sendiri yang lakukan itu”. Jadi Nyai Ontosoroh melakukan pekerjaan kantor. Pekerjaan kantor macam apa yang dia bisa “Administrasi?” tanyaku mencoba-coba. “Semua. Buku. Dagang, surat-menyurat, bank…” (Bumi Manusia, 2011:45)


2. Nyai Yang Gemar Membaca dan Mempelajari Situasi

Saat Minke mengundang Magda Peters guru sastranya di HBS yang penasaran bagaimana seorang Nyai yang sudah menjadi ibu mertua Minke adalah seorang yang dapat belajar secara otodidak, dalam sebuah percakapan: “Bagus sekali ruangan ini, bersih dan tenang”, Magda menebarkan pandang pada jendela-jendela kaca yang membabarkan pemandangan pedalaman. “Indah sekali!”. Kemudian ia langsung pergi ke meja dan mengambil bundel majalah tersebut. Bertanya tanpa melihat pada siapapun, “Siapa yang membaca Indische Gids ini?” “Bacaan pengantar tidur, Juffrouw”. “Pengantar tidur!” Ia membelalak pada Nyai. “Dokter menganjurkan banyak membaca sebelum tidur”. “Nyai sulit tidur?” “Ya”. “Sudah lama itu Nyai tanggungkan?” “Lebih lima tahun Juffrow”. “Dan Nyai tidak sakit karenanya?” Mama menggeleng, tersenyum. “Lantas apa hendak Nyai cari dalam majalah ini?” “Hanya supaya bisa tidur?” “Bacaan apa lagi pengantar tidur Nyai?” tanyanya seperti memaksa. “Apa saja yang terpegang Juffrow. Tak ada pilihan”. Magda Peter mengedip cepat lagi. “Apa yang Nyai lebih suka di antara semuanya?” “Yang aku dapat mengerti Juffrow”. “Apa Nyai tahu tentang assosiasi Snouck Hurgronje? “Maaf”, Nyai mengambil majalah itu dari tangan guruku, mencari-cari halaman tertentu, kemudian menunjukkan pada Magda Peters” (Bumi Manusia, 2011:343-344). Pada halaman yang sama digambarkan mengenai koleksi perpustakaan Nyai Ontosoroh, “Magda Peters sekarang memriksa buku-buku dalam lemari. Sebagian besar bundel majalah yang dijilid indah. Seakan ia hendak memeriksa isi kepala Nyai. Ternyata ia tidak begitu tertarik: peternakkan, pertanian, perdagangan, kehutanan dan kayu-kayuan. Kemudian: bundel berbagai majalah wanita dan majalah umum dari Hindia, Nederland dan Jerman. Sebagian terbesar pustaka itu disapu saja dengan pandangnya. Kemudian balik lagi pada deretan bundel majalah kolonial, dan berhenti lama pada deretan sastra dunia dalam terjemahan Belanda” (Bumi Manusia, 2011:344).


3. Nyai Yang Berani Menentang Sistem Hukum Kolonial Yang Diskriminatif

Dalam sebuah persidangan yang mencekam dan mendebarkan perihal status Annelies yang akan dibawa ke Belanda yang kelak akan memisahkan hubungan Nyai Ontosoroh dan Annelies, dengan tegas dan berani Nyai Ontosoroh melakukan perlawanan di sidang pengadilan sbb: “Dengan suara lantang dalam Belanda tiada cela – di bawah larangan hakim yang memaksanya menggunakan Jawa, serta ketukan palu – laksana air bah lepas dari cengkeraman taufan ia bicara: Tuan hakim yang terhormat, Tuan Jaksa yang terhormat, karena toh telah dimulai membongkar keadaan rumahtanggaku…(ketokkan palu, diperingatkan agar menjawab langsung). Aku, Nyai Ontosoroh alias Sanikem, gundik mendiang Tuan Mellema, mempunyai pertimbangan lain dalam hubungan antara anakku dengan tamuku. Sanikem hanya seorang gundik. Dari kegundikkanku lahir Annelies. Tak ada yang menggugat hubunganku dengan mendiang Tuan Mellema, hanya karena dia Eropa Totok. Mengapa hubungan antara anakku dengan Tuan Minke dipersoalkan? Hanya karena Tuan Minke Pribumi? Mengapa tidak disinggung hampir semua golongan orangtua golongan Indo? Antara aku dan Tuan Mellema ada ikatan perbudakkan yang tidak pernah digugat oleh hukum. Tanpa ikatan itupun anak-anakku lahir, dan tak ada seorangpun yang berkeberatan. Orang Eropa dapat membeli perempuan Pribumi seperti diriku ini. Apa pembelian ini lebih benar daripada percintaan tulus? Kalau orang Eropa boleh berbuat karena keunggulan uang dan kekuasaannya, menmgapa kalau Pribumi jadi ejekkan, justru karena cinta tulus?” (Bumi Manusia, 2011:426).


Pramoedya bukan hanya melakukan konstruksi ulang tokoh Nyai yang lebih terpelajar dan berwibawa, namun tidak lupa memberikan gambaran mengenai perfomance seorang Nyai melalui kecantikkan dan pakaian yang indah dan berwibawa sebagaimana disajikan dalam penggalan kisah berikut: “Dan segera kemudian muncul seorang wanita Pribumi, berkain, berkebaya putih dihiasi renda-renda mahal, mungkin bikinan Naarden seperti diajarkan di E.L.S. dulu. Ia mengenakan kasut beledu hitam bersulam perak. Permunculannya begitu mengesani karena dandanannya yang rapi, wajahnya yang jernih, senyumnya yang keibuan dan riasnya yang terlalu sederhana. Ia kelihatan manis dan muda, berkulit langsat. Dan yang mengagetkan aku adalah, ‘Belandanya yang baik, dengan tekanan sekolah yang benar…Ia berjalan menghampiri aku dengan sederhananya. Dan inilah rupanya Nyai Ontosoroh yang banyak dibicarakan orang, buah bibir penduduk Wonokromo dan Surabaya, Nyai penguasa Borderij Buitenzorg” (Bumi Manusia, 2011:32-33)


Pramoedya Ananta Toer pun memotret asal usul seorang Nyai melalui tokoh Nyai Ontosoroh yang menggambarkan kondisi yang berlaku di zaman itu bagaimana seorang Nyai adalah seorang anak yang dijual oleh keluarganya. Ini dapat kita simak dalam narasi berikut: “Begitulah, Ann, upacara sederhana bagaimana seorang anak telah dijual oleh ayahnya sendiri, jurutulis Sastrotomo. Yang dijual adalah diriku: Sanikem. Sejak detik itu hilang sama sekali penghargaanku dan hormatku pada ayahku; pada siapa saja yang dalam hidupnya pernah menjual anaknya sendiri. Untuk tujuan dan maksud apapun” (Bumi Manusia, 2011:123).


Upaya konstruksi ulang terhadap tokoh Nyai melalui Nyai Ontosoroh yang digambarkan Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya sebenarnya bukan barang baru dan telah dikerjakan terlebih dahulu baik oleh penulis Indo-Eropa sebagaimana dijelaskan Regie Baay, “Penggambaran nyai yang diberikan oleh Pramoedya Ananta Toer mirip dengan yang ada dalam terbitan bahasa Melayu karya penulis-penulis Indo-Eropa seperti Kommer, Wiggers dan Francis. Mungkin Pramoedya Ananta Toer memang memperoleh inspirasi dari mereka.Apakah hanya kebetulan saja bahwa salah seorang tokoh dalam Aarde der Mensen membaca buku Njai Dasima karya Francis? Apakah sebuah kebetulan bahwa cara yang digunakkan Nyai Ontosoroh ketika hendak menentukan nasib sendiri, mengingatkan kita kepada Nyai Isah dari karya Wiggers? Akhirnya, apakah sebuah kebetulan juga bahwa tokoh utama Minke dalam Kind van Alle Volken menulis cerita tentang seorang nyai yang membiarkan dirinya tertular acar agar bisa terlepas dari nasibnya, seperti Nyai Paina dalam ceritan Kommer?” (Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, 2010: 209-210). Bahkan dua puluh tahunan sebelum Pramoedya Ananta Toer menerbitkan Bumi Manusia-nya, S.M. Ardan, seorang sastrawan dan kritikus film menolak citra serba negatif mengenai sosok Dasima dalam roman Tjerita Nyai Dasima karya G.Francis pada tahun 1896. Pada tahun 1960, Ardan membuat versi baru Tjerita Njai Dasima yang dipublikasikan sebagai cerita bersambung berjudul Njai Dasima dalam koran Warta Berita, September-Oktober 1960. Menurut J.J. Rizal dalam pengantar buku Nyai Dasima mengatakan, “Tokoh Nyai Dasima diidealisasi oleh Ardan sebagai perempuan korban struktur sosial kolonial yang ingin mengembalikkan posisi dirinya, mempertahankan jati diri dan harga diri dengan memberontak terhadap kunkungan cara hidup pernyaian bentukkan tuan putih. Nyai Dasima oleh Ardan diberi keberanian dan kekuatan untuk mengungkapkan hal itu, seperti yang tercermin dalam kata-katanya:…”(Nyai Dasima,2013:xii)


Buku karya Regie Baay ini layak mendapatkan apresiasi yang tinggi. Melalui kajian dan ulasan yang disampaikan dalam buku ini, kita mendapatkan beberapa pelajaran penting: Pertama, Pernyaian sebagai model pergundikkan khas Hindia Belanda di era kolonialisme merupakan realitas historis yang turut membentuk dan melahirkan orang-orang berdarah Indo-Eropa di Indonesia sebagiamana dikatakan, “Dapat kita katakan, nyai adalah nenek moyang orang-orang Indo-Eropa” (hal 163). Realita ini bukan untuk ditangisi apalagi disembunyikan melainkan menjadi sebuah pelajaran penting bahwa penindasan kerap menimbulkan kerugian pada pihak yang lemah, dalam hal ini perempuan sehingga mereka kerap diobyektifikasi hanya menjadi sebuah barang yang dapat diperlakukan sesuka pemilik barang. Kedua, sudah selayaknya kisah para Nyai diberikan tempat dalam sejarah bangsa sebagaimana diharapkan Regie Baay, “Sudah saatnya nyai mendapat tempat yang merupakan haknya di dalam keluarga Indies dan di dalam sejarah, sebelum semua terlambat dan tidak ada seorangpun yang mengingatnya lagi” (hal 226). Pengisahan baru seorang Nyai Ontosorah dalam Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer merupakan sebuah penghormatan sekaligus perlawanan terhadap konstruksi sosial masyarakat kolonial mengenai citra seorang Nyai. Seorang Nyai, bukan hanya sekedar barang namun bisa menjadi seorang manajer yang handal dan cerdas serta tegas dalam menghadapi situasi yang tidak menguntungkan di era kolonial.

Akan lebih menarik kisah Nyai dan pergundikan di Hindia Belanda ini jika dituangkan dalam layar lebar dengan bingkai kisah semacam Nyai Ontosoroh dan Annelies yang terlibat cinta berliku dengan seorang pribumi bernama Minke. Semoga!

Teguh Hindarto

Peminat Kajian Teologi, Sejarah dan Fenomena Sosial

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun