Mengasyikan menonton "Master Chef Amerika", " Master Chef Australia", Top Master Chef Australia" bahkan "Master Chef Junior Australia" di Chanel Life Time, Star World, National Geographic.
Menu dan makanan bukan lagi sekedar konsumsi perut tapi membutuhkan kecerdasan khusus dalam menyajikannya menjadi hidangan berkelas.
Tidak kalah menarik adalah menyaksikan tayangan "Master Chef Junior Australia" ( yang juga di adaptasi di RCTI dan MNC dengan nama " Master Chef Junior Indonesia").
Bukan soal kecerdasan dan ketrampilan memasak serta tingkat kerumitan memasak anak-anak tersebut yang memukau ( khususnya perfoma anak-anak di " Master Chef Junior Australia") yang menarik perhatian saya.
Melainkan soal kemampuan verbal anak-anak tersebut dalam mengomunikasikan gagasan dan penilaiannya. Ada kesenjangan yang cukup jauh antara kemampuan verbal anak-anak di Indonesia dengan anak-anak di luar negeri.
Sementara anak-anak kita hanya memberikan komentar-komentar deskriptif yang pendek, singkat dan tidak substansial serta dilengkapi sikap malu-malu, sebaliknya anak-anak di Australia yang hanya berusia 9-12 tahun mampu memberikan komentar-komentar eksplanatoris tentang susunan menu masakannya dan menjawab setiap pertanyaan dengan jawaban pendek dan datar namun dengan tangkas dan argumentatif serta lebih ekspresif, layaknya orang dewasa.
Ini mencerminkan pola pendidikan di Indonesia yang terus menerus diratapi oleh para pemerhati pendidikan yaitu pendidikan yang tidak menghasilkan insan yang tanggap masalah.
Paulo Freire (1921), seorang filsuf dan pendidik di Amerika Latin menyebutnya dengan sistem pendidikan bank, untuk menamai proses pendidikan dimana anak didik dianggap sebagai tabungan sementara guru diposisikan sebagai penabung ilmu secara aktif. Hasilnya? Tentu saja kemampaun anak-anak didik yang bersifat teoritis deskriptif belaka.
Paulo Freire mengembangkan model pembelajaran kritis dengan sistem tanggap masalah. "Sistem pendidikan ini tidak bermaksud menyimpan-sebagaimana sistem pendidikan ala bank. Namun bermaksud mengemukakan problem-problem manusia dalam kaitannya dengan dunia eksternal" (Siti Murtiningsih, Pendidikan Alat Perlawanan: Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire, 2004:82).
Senada dengan pemikiran Paulo Freire di atas, Indira Permanasari menggulirkan istilah "Kurikulum Bervisi Transformasi Sosial" ( Kompas, 5 Mei 2014). Menurutnya, "Kurikulum tersebut melihat pendidikan dari perspektif sosial. Fokus dalam pembelajaran ialah murid memiliki kesadaran kritis memecahkan persoalan dengan pengetahuan dan keterampilannya" (hal 12). Kurikulum "Transformasi Sosial" bukan diukur melalui Ujian Nasional namun diuji melalui membuat proyek proposal mengatasi persoalan di lingkungan, demikian imbuhnya.
Di era "Tsunami Digital" ini, selayaknya para pendidik di Indonesia tidak lagi memposisikan diri sebagai sumber informasi keilmuan yang bertugas mentransformasikan tahu dan pengetahuan belaka namun sekaligus memberikan pendidikan bagaimana menghasilkan tahu dan pengetahuan dengan tanggap terhadap masalah sosial di sekeliling mereka.