Koran Kompas pada kolom “Fokus” menguraikan tentang keluhan seorang pelaku usaha kargo bernama Ridwan yang mengeluarkan biaya distribusi 16 ton jeruk dari Palopo ke Makasar (320 km) dengan dua truk angkut menelan biaya 8 juta. Lalu pengiriman dari Makasar ke Jakarta menelan biaya 1,5 juta per kontainer. Itu belum memperhitungkan biaya bongkar muat di Pelabuhan Makasar dan Tanjung Priok yang menghabiskan biaya 1,3 juta. Biaya 8 juta tesebut lebih mahal daripada biaya pengiriman jeruk dari Shanghai ke Jakarta yaitu 5 juta. Keluhan yang sama disampaikan Hengky Pratoko, Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia Jawa Timur. Menurutnya, biaya pengiriman peti kemas antar pula di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan biaya pengiriman barang di sejumlah negara. Sebagai contoh, pengiriman dari Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya ke Makasar mencapai 4,5 juta hingga 7 juta dan Surabaya ke Sorong mencapai 13 juta hingga 17 juta. Padahal biaya pengiriman dari Surabaya memakan biaya 3,4 juta dan Surabaya ke Beijing hanya 3,8 juta hingga 4,85 juta.
Akar persoalan tersebut bukan tidak diketahui oleh pejabat yang berwenang. Harry Sutanto, Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia menjelaskan bahwa mahalnya biaya tersebut disebabkan “Lemahnya interkoneksi pelabuhan di wilayah Indonesia timur. Pengiriman dari Makasar ke Kendari dan Jaya pura harus dilakukan melalui Surabaya karena ketiadaan kapal yang langsung melayani rute itu”
Berbagai keluhan terkait mahalnya ongkos kirim berbagai produk melalui perairan Indonesia memang memprihatinkan jika mengingat basis historis Indonesia sebagai kerajaan besar bernama Nusantara merupakan negara dengan kekuatan berbasiskan kemaritiman. Dan akar persoalan yang sudah ditemukan yaitu “lemahnya interkoneksi antar pelabuhan” telah menemukan momentumnya saat pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai pemenang pemilihan presiden 2014 menguraikan visi dan misi mengenai Politik Luar Negeri pada debat sesi 3 (tgl 22 Juni 2014) memberikan tekanan pada pembangunan maritim serta mengusung konsep Tol Laut sebagai solusi untuk mengatasi biaya tinggi saat pengantaran komoditi dalam dan ke luar negeri melalui perairan Indonesia.
Sebagaimana beberapa pemerhati persoalan kemaritiman di Indonesia, kita bukan hanya memiliki sejumlah kelemahan manajemen pengelolaan pelabuhan, persoalan lainnya adalah mengelola dan memproteksi kekayaan alam serta pemanfaatan kekayaan alam di lautan, sebagaimana ditegaskan Andreas Pereira. Maka konsepsi membangun poros maritim dan segala aspek yang terkait di dalamnya yang dilakukan pasangan presiden terpilih 2014-2018 dinilai oleh Guspiabri Sumowigeno, Direktur Kajian Politik Center for Indonesian National Policy Studies, “Terobosan pemikiran yang gemilang”
Tetangga Indonesia yaitu China di bawah kepemimpinan Xi Jinping memahami betul adagium kuno para kaisar China yaitu: “Barangsiapa menguasai lautan maka akan menguasai dunia”. Oleh karenanya – sebagaimana ulasan Rohkmin Dahuri – China telah menyiapkan dirinya bertahun-tahun lamanya untuk menjadi the Ruler of the Wafe melalui beberapa cara yaitu “…membangun infrastruktur, industri dan kawasan dan kawasan ekonomi khusus secara masif dan kolosal: diawali dari wilayah pesisir, mulai pantai selatan seperti kota Shenzhen dan Guangzhou, hingga pantai utara seperti Shanghai dan Dalian”. Dahuri melanjutkan penjelasannya, “Pelabuhan laut kelas dunia, industri galangan kapal, elektronik, otomotif, teknologi informasi, perikanan tangkap, budidaya laut, bioteknologi kelautan dan beragam industri lainnya di bangun di sepanjang wilayah pesisir…Untuk dapat menguasai dan mendayagunakan laut bagi kemajuan, kesejahteraan dan kedigdayaan bangsanya, dalam dekade terakhir China membangun sejumlah perguruan tinggi bidang kelautan. Sebut saja Shanghai Maritime University, Shanghai Fisheries University dan Guangdong Ocean Family”
Indonesia adalah negara maritim, maka sudah saatnya mengembalikan kejayaan maritim masa silam bukan saja untuk kepentingan politik ekonomi luar negeri yang mulai bergeser dari Atlantik ke Asia Pasifik melainkan mendatangkan kemakmuran bagi rakyat Indonesia khususnya para nelayan yang hidup di tepian pantai.
Membangun kejayaan maritim nusantara setidaknya harus didasarkan pada dua kekuatan dasar yaitu kekuatan geeografis dan kekuatan historis. Apa yang dimaksudkan dengan kekuatan geografis dan kekuatan historis.
Pertama, kekuatan geografis. Rohmin Dahuri mengutip pendapat Walter Isard, peraih Nobel dari Cornell University mengenai konsepsi “Geography is destiny”. Artinya, konstelasi sebuah negara menentukan nasib bangsa itu sendiri. Indonesia adalah negara kepuluan terbesar di dunia dan ¾ luas wilayah negara Indonesia adalah laut. Namun strategi pembangunan Indonesia selama ini memusatkan pada daratan bukan lautan. Dahuri melanjutkan penjelasannya mengenai konsepsi pembangunan maritim, “Hampir 70% total perdagangan dunia berlangsung di antara negara-negara Asia Pasifik. Lebih dari 75% dari barang yang diperdagangkannya ditransportasikan melalui laut, terutama melalui Selat Malaka, Selat Lombok, Selat Makasar dan laut-laut Indonesia lainnya dengan nilai sekitar US$ 1.500 triliun setiap tahunny. Artinya, Indonesia merupakan jantung perdagangan dunia. Indonesia mestinya bukan lagi negara konsumen, melainkan negara produsen, yakni menjual barang dan jasa melalui rantai transportasi global ini”
A.M. Djuliati Suroyo mengutip Mahan menjelaskan bahwa negara maritim memiliki enal syarat yaitu: lokasi geografis, karakteristik tanah dan pantai, luas wilayah, jumlah penduduk, karakter penduduk, serta pemerintahan. Negara maritim harus mampu mengendalikan pulau-pulau yang menjadi wilayah kekuasaannya. Untuk itu, negara maritim harus memiliki armada laut tanggung baik di bidang perdagangan maupun bidang pertahanan. Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa syarat-syarat itu terpenuhi oleh negara bernama Indonesia khususnya kekuatan geografis. Berbasis kekuatan geografis dimana ¾ wilayah Indonesia adalah lautan di mana di dalamnya pulau-pulau terhubung satu sama lain, maka pembangunan berbasis maritim adalah sebuah keniscayaan dan menjadi paradigma baru dalam metode pengembangan keekonomian negara.
Kedua, kekuatan historis. Sebelum bernama Indonesia, berbagai kerajaan di wilayah pra Indonesia khususnya Jawa dan Sumatra menunjukkan kekuatan imperium maritim yang tangguh. Menurut Kenneth R. Hall, Nusantara memiliki 3 laut utama. Hall juga menyatakan ada lima zona komersial di Asia Tenggara pada Abad ke-14 dan awal Abad ke-15. Pertama, zona Teluk Benggala (India Selatan, Sri Lanka, Birma, pantai utara Sumatra) Kedua, zona Selat Malaka. Ketiga, zona Laut China Selatan (semenanjung Malaysia, Thailand, Vietnam Selatan), Keempat, zona Sulu (pantai barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanau dan pantai utara Kalimantan). Kelima, zona Laut Jawa (Kalimantan Tengah, Jawa, Sulawesi, Sumatra, Nusa Tenggara)
Mengenai eksistensi Laut Jawa, Irawan Djoko Nugroho dalam bukunya “Majapahit Peradaban Maritim” mengatakan, “Di antara zona-zona tersebut, Laut Jawa adalah kawasan terpenting karena telah terintegrasi oleh jaringan pelayaran dan perdagangan sebelum bangsa Eropa datang. Menurut Vincent J.H. Houben, Laut Jawa merupakan inti bagi Asia Tenggara…Dapat dikatakan Laut Jawa merupakan mediterranean sea (laut tengah) bagi Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Ia menjadi jembatan penghubung berbagai komunitas yang berada di sekitarnya, baik dalam kegiatan budaya, politik maupun ekonomi”. Dalam bagian lain, Irawan menyimpulkan, “Besarnya armada Laut Jawa dibandingkan kerajaan lain semasanya membuat Jawa menjadi kerajaan maritim terkemuka di seluruh kawasan. Saking dominannya, beberapa kerajaan datang untuk meminta Jawa ikut menyelesaikan persoalan dalam negerinya”
Kerajaan Jawa yang berjaya dalam bidang kemaritiman telah hadir sebelum Majapahit berdiri yaitu Kerajaan Medang di bawah kepemimpinan Sanna dan Sanjaya (berdasarkan Prasasti Cangal 732 Ms dan Prasasti Kota Kapur 686 Ms) lalu diteruskan oleh Raja Airlangga (berdasarkan Teks Calon Arang Lor 5387/5279 dan Prasasti Cane 1021 Ms dan Prasasti Turun Hyang A 1036 Ms) hingga kerajaan Kediri (naskah Nagarakrtagama pupuh 16) bahkan kerajaan Majapahit khususnya di masa Kertanegara (naskah Nagarakrtagama pupuh 15.1).
Data yang tidak kalah menarik adalah berdasarkan catatan sinolog Universitas Leiden bernama W.P. Groeneveldt mengenai kerajaan-kerajaan maritim di Nusantara yang pernah melakukan ekspedisi dagang dengan Cina sejak Abad 3 Ms adalah Sumatra, Sriwijaya, Jawa.
Nama-nama dinasti kerajaan Cina yang pernah berinteraksi dengan Sumatra adalah Dinasti Liang (502-557 Ms), Dinasti Sui (581-617), Dinasti Tang (618-907), Dinasti Song (960-1279), Dinasti Ming (1368-1643). Sementara dinasti kerajaan Cina yang pernah berinteraksi dengan Jawa adalah Dinasti Liu Song (420-479 Ms), Dinasti Liang (502-557), Dinasti Tang (618-907), Dinasti Song (960-1279), Dinasti Yuan (1279-1368), Dinasti Ming (1368-1643).
Berdasarkan data-data di atas, Irawan Djoko Nugroho menyimpulkan, “Dari perbandingan identifikasi wilayah tersebut, kerajaan-kerajaan di Jawa lebih dulu menjalin hubungan dengan Cina daripada kerajaan-kerajaan di Sumatra. Ini berarti teknologi perkapalan yang membawa urusan Jawa ke Cina lebih unggul daripada Sumatra. Sebab, pada masa itu utusan dari Jawa dan Sumatra-lah yang datang ke Cina, dan bukan sebaliknya. Dalam hubungan tersebut, Jawa juga lebih intensif daripada kerajaan di Sumatra. Kerajaan-kerajaan di Sumatra diangap unggul dalam catatan Sejarah Dinasti Sui, tetapi tidak dalam Sejarah Liu Son, Sejarah Lama Disnasti Tang, dan Sejarah Dinasti Yuan”
Yang tidak kalah menarik adalah adanya data dari prasasti yang ditemukan di Bukit Siguntang bahwa nama Sriwijaya sebagai kerajaan maritim yang berinteraksi dengan Cina baru muncul pada Abad 10 Ms di masa SeJarah Dinasti Song (960-1279). Mengenai vakumnya Sriwijaya dari Abad 7-9 Ms, Irawan Djoko Nugroho memberikan analisisnya, “Kevakuman Sriwijaya dalam melakukan kontak dengan kerajaan Cina pada masa Dinasti Tang bukan tanpa sebab. Sanjaya, dalam ‘Carita de Parahyangan’, telah melaksanakan politik menyatukan wilayah Sumatra dan Malaka. Kisah penyatuan wilayah Malaka oleh Jawa tersebut ternyata dibenarkan oleh para pedagang dan pelaut Arab lain. Ibn Khordazbeh pada 844, ibn al-Fakih pada 902, Abu Zayd pada 943 dan Sulayman pada 851 mencatat, Zabag (Jawa) menyatukan Sribuza dan Kalah, wilayah di semenanjung Malaka”
Jejak kemaritiman Nusantara dapat disaksikan pula dalam salah satu relief di Candi Borobudur yaitu relief kapal Abad 8 Ms pada masa Dinasti Syailendra dari kerajaan Mataram kuno yang replikanya di buat dan di simpan di Museum Samuderaraksa, di kawasan Candi Borobudur, Magelang. Kapal tersebut pernah berlayar dengan rute Jakarta-Madagaskar-Cape Town-Ghana pada tahun 2003. Replika kapal Borobudur tersebut hasil rekonstruksi Philip Bealle, mantan angota angkatan laut Inggris dan kemudian yang membuat kapalnya adalah As’ad Andullah.
Namun demikian, Hasan Djafar, seorang arkeolog dan ahli epigrafi menolak bahwa kapal tersebut berasal dari Dinasti Syailendra dan Mataram kuno karena menurutnya Mataram kuno berbasis ekonomi agraris. Hasan meyakini bahwa kapal itu hanyalah kapal dagang bangsa asing. Berkaitan dengan relief kapal di Candi Borobudur, Irawan Djoko Nugroho sebelumnya pernah mengomentari makalah Hasan Djafar berjudul, “Kapal Dalam Naskah dan Prasasti Abad XII-XIV: Mencari Bentuk Kapal Majapahit (Sebuah Survey Bibliografis)”, dimana dalam kolom pembagian nama dan jenis perahu yang dilakukan Djafar dari zaman Mataram kuno, Kediri, Majapahit hingga Sunda, tidak memberikan deskripsi antara nama jenis-jenis perahu yaitu “Parahu Sajuragan”, “Walija”, “Masunghara 2”, “Jukung”, “Jong”. Dengan mengutip Prasasti Kambang Putih dimana ada frasa, “Banawa karwa tundan” (perahu yang mempunyai kerangka keseimbangan), maka Irawan Djoko Nugroho menyimpulkan bahwa ungkapan itu menunjuk pada jenis perahu yang disematkan dalam relief Candi Borobudur. Namun sayangnya Djafar mengabaikan dan menafik bahwa relief perahu tersebut menunjuk perahu milik Nusantara yang berkategori,“Banawa karwa tundan” (perahu yang mempunyai kerangka keseimbangan).
Demikianlah penjelasan basis kekuatan historis dan basis kekuatan geografis bahwa Nusantara khususnya Jawa adalah kerajaan maritim yang berjaya pada Abad 14-15 Ms bahkan sebelumnya. Tanpa pemahaman mengenai kekuatan sejarah dan kekuatan geografis, cita-cita dan harapan membangun kejayaan Indonesia sebagai negara maritim kehilangan konteks historisnya.
Tanggal 22 Juli 2014 pada pukul 22.45 paska pengumuman pemenang pemilihan presiden 2014-2018 oleh KPU, Joko Widodo dan Jusuf Kalla menyampaikan pidato kemenangannya di atas kapal pinisi Hati Buana Setia di Pelabuhan Sunda Kelapa. Pidato kemenangan ini bukan sekedar seremonial belaka melainkan menyampaikan pesan simbolik bahwa kehendak untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang jaya sedang diproklamasikan pada dunia dan seluruh rakyat Indonesia. Kiranya kepemimpinan baru yang terpilih, dapat mewujudkan harapan tersebut menjadi sebuah kenyataan dan menjadikan Indonesia kembali kepada naturnya sebagai negara maritim.
Ironi Negara Maritim, Kompas, 8 Maret 2013
Ibid.,
Ibid.,
Jokowi-JK Siap Melindungi Negeri Maritim, Media Indonesia, 22 Juni 2014
Menjadikan RI Penting di Mata Dunia, Media Indonesia, 26 Juni 2014
Rohkmin Dahuri, Siapa Kuasai Lautan, Kuasai Dunia, Kompas 17 Januari 2014
Ibid.,
Indonesia Tangguh Berbasis Maritim, Media Indonesia, 23 Juni 2014
Ibid,
A.M. Djuliati Suroyo, Sejarah Maritim Indonesia 1: Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia Hingga Abad Ke-17, Semarang: Penerbit Jeda, 2007, hal 11, 43
Ibid., hal 9
Irawan Djoko Nugroho, Majapahit Peradaban Maritim: Ketika Nusantara Menjadi Pengendali Pelabuhan Dunia, Yayasan Suluh Nuswantara Bhakti 2010, hal 14
Ibid., hal 23
Ibid., hal 5-7
Ibid., hal 36-38
Ibid., hal 40
Ibid., hal 42
Ibid., hal 7-8
Ibid., hal 9-10
Candi Borobudur, Jejak Maritim Dinasti Syailendra, Kompas 11 Januari 2014
Op.Cit, Majapahit Peradaban Maritim: Ketika Nusantara Menjadi Pengendali Pelabuhan Dunia, hal 265-266
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H